Inilah
Kala Tattwa
yaitu riwayat Bhatara Kala dari sejak beliau lahir.
Diceritakan Bhatara Siwa bersama permaisuri-Nya yaitu Bhatarì Girìputri
pergi melihat-lihat laut, samudra. Tak berapa lama sampailah beliau di
atas samudra. Tiba-tiba bangkitlah birahi Bhatara Siwa, ingin
bersenggama dengan permaisurinya, Sang Hyang Girìputri.
Tidak mulah
beliau (Bhatarì Girìputri) karena sadar sebagai perwujudan dewata.
Kemudian marahlah Bhatara Siwa. Berkatalah Bhatarì Girìputri: Duhai
junjungan, janganlah demikian, (perilaku seperti itu) bukanlah perilaku
dewata.
Berkatalah Bhatara (Siwa): ”Ya Bhatarì janganlah demikian, karena tidak
terkendalikan keinginanku, jika tidak diberikan tidak senanglah aku”.
Akhirnya (keduanya) sama-sama marah. Namun belum terpenuhi keiginan
Bhatara (Siwa), sperma beliau sudah keluar dan jatuh ke laut.
Selanjutnya Bhatara Siwa kembali ke sorga bersama dengan permaisuri-Nya.
Tidak diceritakan Bhatara dengan permaisuri-Nya.
Diceritakan Sang Hyang Brahma dan Sang Hyang Wisnu melihat air mani itu,
dan laut tampak goncang, lalu beliau berdua beryoga. Maka menyatulah
air mani itu menjadi berwujud raksasa besar dan luar biasa. Tidak ada
yang menyampai rupanya. Saat itu larilah Bhatara Brahma dan Bhatara
Wisnu.
Tidak diceritakan larinya mereka. Diceritakan raksasa itu berkeinginan
mengetahui (siapa) ayah dan ibunya. Dipandangnya laut, sepi.
Dipandangnya ke Timur juga sepi. Ke selatan sepi. Ke Barat sepi. Ke
utara sepi. Ke bawah sepi. Ke atas juga sepi.
Maka berteriaklah raksasa itu bagaikan ruangan singa, sehingga bumi
menjadi bergetar, seluruh sorga bergoyang. Lalu keluarlah Dewata
Nawasangha seluruhnya, dilihatnya raksasa besar dengan rupa yang luar
biasa, berteriak-teriak bagaikan raungan singa. Kemudian bangkitlah
kemarahan para Dewata Nawa Sangha, lalu menyerangnya. Dikeroyoknya
raksasa itu oleh para Dewata seluruhnya. Tidak cidera (sedikitpun)
raksasa itu, lalu ia berkata ”Ah bahagia rasanya ketemu, janganlah
engkau menyerangku, aku minta kebenaran”.
Dewata berkata: ”Ah ah kami, jangan banyak bicara, karena engkau raksasa amat jahat, tak bakalan tidak engkau mati”.
Lalu mereka berperang. Akhirnya kewalahan para sewa itu dan dikejarnya.
Para dewata berhamburan lari menuju ke hadapan kaki Bhatara Siwa.
Selanjutnya mereka bersama-sama melaporkan: ”Ya junjungan, ini ada musuh
paduka datang menuju ke hadapan paduka, berwujud raksasa
mengobrak-abrik kahyangan. Tak tercedrai oleh putra paduka seluruhnya,
apabila paduka tidak mau terjun ke medan perang, niscata seluruh
kahyangan akan hancur”.
Sabda Bhatara Siwa: ”Ah uh uh ah mah, janganlah engkau ragu-ragu, aku
hadapi sekarang”. Lalu beliau keluar dan ditemuinya raksasa itu. ”Aum
engkau raksasa, sangat besar dosamu. Matilah engkau olehku”.
Kata si raksasa: ”Nah keluarlah engkau sekarang”.
Selanjutnya terjadilah perang tanding yang sangat dasyat, saling robek,
saling tikam, kemudian Bhatara Siwa lari, sebab raksasa itu tidak dapat
dilukai dengan senjata bajra. Karena itu Bhatara Siwa dikejar, Bhatara
Siwa lari terbirit-birit, gemetar, lalu mengipaskan badanya sesampainya
di tempat kejauhan. Dari sana Bhatara kembali seraya berkata: ”Aum kamu
raksasa, apa salahnya Sang Catur Loka Phala? Dan apa yang menyebabkan
engkau menyerang seluruh penghuni kahyangan”.
raksasa itu berkata: ”Tidak ada keinginan aku untuk berperang, aku hanya
ingin bertanya padanya. Betul paduka karena aku tidak mengetahui siapa
ayah ibuku”.
”Nah kalau demikian potonglah terlebih dahulu taringmu yang di kanan,
baru ketemu ayah ibumu. Aku tidak berbohong padamu, sekarang ada
anugrahku kepadamu, semoga engkau memperoleh keberhasilan (kasidian),
engkau berwujudkan semua yang bernafas, terserahlah kamu sekarang. Bila
engkau ingin membunhnya, boleh bila kau ingin menghidupkan juga boleh,
sebab engkau anakku, ini ibumu Bhatarì Uma Dewi”. Demikian sabda Bhatara
Siwa.
Selanjutnya bersabdalah Bhatarì Uma: ”Duhai putraku, ada anugerahku
padamu, mulai sekarang janganlah engkau mengembara, menyusuplah engkau
di desa pakraman, di pura Dalemlah engkau tinggal, Durga sebagai namamu,
pemberian ibumu yang bernama Bhatarì Uma, itulah sebabnya engkau
menjadi Bhatara Durga. Bhatara Siwa ini adalah ayahmu, yang
menganurahkan kamu nama Hyang Kala, pada waktu taringmu dipotong.
Demikianlah namamu, engkau menjadi dewanya kelompok Kala, Durga, Pasica,
Wil, Danuja, Kingkara, raksasa dan segala macam penyakit, hama, serta
segala macam bisa (racun), dan segala kekuatan gaib, di desa engkau
dibenarkan untuk memakan segala makananmu itu. Adapun pada saat aku
berada di pura Dalem maka menjadilah aku Bhatarì Uma Dewi, karena akulah
yang menganugrahkanmu. Olah karenanya aku bernama Bhatarì Durga Dewi.
Engkau berada di pinggrinya, sebagai namamu Kalika. Bila engkau berada
di Bale-Agung engkau bernama Jutisrana. Semoga engkau menemukan
keberhasilan dalam pikiranmu.
Berkatalah Sang Durga: ”Hormat Bhatarì, apa yang menjadi makanan anak
Bhatarì”.
”Nah ini sebagai makananmu yaitu: kalau ada orang yang tidur sampai sore
dan tidak pada waktunya yaitu setelah matahari terbenam, dan anak kecil
menangis pada waktu malam ditakuti-takuti oleh ayah-ibunya dengan
kata-kata, nah nah amah ne amah (Ya makan, ni makan). Dan lagi kalau ada
orang membaca kidung, kekawin, tutur yang uttama di tengah di tengah
jalan, itu yang menjadi makananmu. Kalau ada orang yang mengadakan
pertemuan untuk perkumpulannya di jalan, itu juga boleh kamu memakannya.
Dan lagi kalau ada orang yang mengetahui prihal pemujaan kepadamu,
wajarlah bila kamu memberikannya anugerah, segala permintaannya patut
engkau berikan bersama rakyatmu semuan, sebab itu saudaramu yang
sesungguhnya. Ia yang disebut manusia yang sejati. manusa Jati dapat
berbuar dengan Dewa, Bhatara, Hyang, karena itu semua adalah satu, ia
adalah manusia, ia adalah dewa, ia adalah Bhuta. Bhuta adalah ia, dewa
adalah ia, manusia adalah ia.
Demikianlah essensi yang sebenarnya Sang Hyang Panca Maha Bhuta
sebutanmu yang lain. Sang Hyang artinya, yang memerintahkan. Panca
artinya lima. Bhuta artinya segala yang beracun dan memakan daging,
diantaranya: Kala, Bhuta, Durga, Pisaca, Kingkara. Itu semua
berperwujudan penyakit, hama dan wabah, ilmu, dan ilmu sihir. Itu semua
rakyatmu yang bisa kau perintahkan untuk beruat baik dan buruk. Oleh
karena semuanya sama-sama pandai dan sakit, karena kelahirannya dari
sepuluh indria dewata pada waktu keangkara beliau nikmati bersama
saktinya (istrinya).
Semuanya itu memenuhi dunia termasuk sorga, sapta loka (tujuh dunia di
atas), sapta patala (tujuh dunia di bawah), semuanya dipenuhi oleh
bermacam-macam kala, Bhuta, Durga dan segala jenisnya dengan wujud
(rupa) yang berbeda-beda yang semuanya amat berani dan sakti. Kesemuanya
itu mencari makanan pada manusia yaitu pada semua manusia, binatang,
pada mereka yang tingkah lakunya tidak sesuai dengan penjelmaannya. Akan
tetapi kalau ada orang yang tahu akan hal itu, yang sesuai dengan
ucapanku yang dahulu, patut engkau sertai segala perbuatannya, bila
berbuat kebaikan maka turutlah engkau dalam kebaikan, oleh karena Sang
Hyang Dharma menjelma pada mereka yang tidak ternoda bagaikan air
kehidupan bagaikan lidahnya api. Demikianlah perwujudannya (perbawanya)
bagaikan angina linus kekuatannya yang ke luar dari bulu-bulu badanya.
Itu yang menyebabkan beliau disembah oleh semua yang galak, semua yang
seram, segala yang beracun, segala angkara, dan semua leyak, engkau juga
dapat membuat mereka berhasil. Demikian perkataan beliau Sang Hyang
Giriputri. Selesai beliau memberikan anugerah pada putera beliau Bhatara
Kala.
Kemudian beliau berganti nama, bernama beliau Bhatarì Durga, sebagai
anugerah Bhatarì (Uma) yang distanakan di Dalem, Sang Hyang Panca Maha
Bhuta sebutan beliau yang lain (Sang Hyang Kala), oleh karena beliau
menjadi dewanya segala yang dasyat, beliau dimulaikan di Desa yaitu di
Bale Agung. Demikianlah sabda Bhatara Siwa, dan lagi: ”Aum putraku Sang
Hyang Kala, engkau patut tinggal di desa, engkau mengusai desa adat,
engkau boleh mengambil jiwanya manusia maupun binatang setiap tahun pada
waktu sasih Kesanga (Maret). Terutama menghukum orang yang berdosa,
jahat, bersenggama tidak sesuai dengan sila-krama, dharma sesana, dan
agamanya. Demikian pula engkau dapat menyebarkan penyakit kusta, hama
dan penyakit binatang yang tidak dapat diobati, dan di desa adat yang
tertimpa alamat buruk, sebagai hukuman dari sang Hyang Siwa Raditya,
pada bumi yang telah terkena cemar. Itu yang menjadi santapanmu bersama
dengan seluruh rakyat kala-mu, Sang Hyang Kala Mretyu sebutannya. Oleh
karena engkau Bhuta Rajapati yang dalam keadaan marah, Sang Hyang Yama
Raja sebutanmu yang lain.
Apabila ada raja memohon belas kasihan dewata, memohon keselamatan
negara dengan seluruh rakyat yang ada di wilayah kerajaannya, maka agar
segeralah ia menebus jiwa padamu dan semua dewata dengan upakara
sesajen. Karena itu orang harus mengetahui rincian tentang yajna.
Diantaranya: manusa Yajna, Bhuta Yajna, Resi Yajna, Dewa Yajna, Pitra
Yajna, Siwa Yajna, Aswameda Yajna. Itulah tujuh Yajna namanya, yang
dapat mengahantarkan pada kesentosan badan dan seluruh bhumi sampai ke
sorga, oleh karena dapat menghantarkan pada kesejahteraan dunia.
Kalau itu telah dilaksanakan, maka engkau putraku dan seluruh rakyat
kalamu kembali dalam wujudmu yang lemah lembut, lenyap segala
keangkaraanmu demikianlah hukumanmu, engkau akan menerima ruwatan dan
pendeta Siwa-budha, sehingga dapat menghilangkan kebencian yang melekat
pada badanmu. Yang menyebabkan engkau menjadi dewa-dewi. Engkau akan
dapat bersama-sama dengan ayah-ibumu menikmati alam sorga.
Setelah itu berkatalah Sang Hyang Kala, sabda beliau: ”Mohon ampun Oh
Siwa, hamba sujud pada Mu, putra Bhatara tidak menolak akan segala
anugrah Hyang Bhatara. Ada lagi pertanyaan hamba kehadapan Bhatara.
Bagaimana perlindungan masing-masing yajna itu? Bagaimana susunannya?
Jelaskanlah hamba sekarang.
Sabda Bhatara (Siwa): ”Janganlah engkau ragu, sekarang akan kujelaskan
padamu. Perhatikanlah penjelasanku mengenai yajna itu”. Yajna adalah
sebagai penebusan hukuman kepada Tuhan dari orang yang berdosa, sebagai
pembeli jiwa pada kehidupannya masing-masing. manusa Yajna bermanfaat
untuk menjadikan kokohnya negara dan kekalnya sang pemimpin yang
mengusai negara. Tatacara yajna adalah dengan membagi-bagikan dana
kesenangan, segala yang mulai seperti isi kerajaan, disertai persembahan
hidangan dan umbi-umbian dan buah-buahan, sebagai saksi Sang Hyang
Siwaditya, yang dipuja oleh sang pendeta yang mempunyai pengetahuan
sempurna, seorang raja dapat melaksanakan/menyelenggarakan yajna yang
demikian. Dan lagi pada waktu orang memuja dewa di tempat pemujaan sang
catur warna (empat golongan masyarakat di Bali) sebagai hulu desa adat.
Yajna yang demikian dapat dilaksanakan. Lain daripada itu tidak boleh,
walaupun di pura Dangka? Dan pura leluhur untuk golongan sudra (paibon)
tidak boleh medana-dana. Kalau ada yang melanggar, itu boleh menjadi
santapanmu, hukum orang yang demikian, suruh rakyat kalamu untuk memakan
dan minum darahnya, dagingnya. Demikianlah sepatutnya.
Adapun Bhuta Yajna itu adalah tawur. Beragam bentuknya, besar-kecil
tawur bentuknya itu juga Bhuta yajna namanya. Itu menjadi santapanmu
bersama dengan rakyat kalamu semua, oleh karena tawur sebagai korban
orang yang menyelanggarakan caru, sebagai pembbeas hukuman orang yang
berdosa ataupun (orang yang memperoleh) pertanda buruk, mala petaka, dan
isyarat yang kurang baik, (tawur) itu dapat menghlangkan hukuman yang
besar dan kecil, karena itu patut diikuti.
Adapun perinciannya masing-masing adalah demikian. Kalau Panca Sata
sebagai bentuk tawurnya (kekuatan) perlindungannya selama satu tumpek
(35 hari). Kalau Panca Klud sebagai tawurnya enam bulan (kekuatan)
perlindungannya. Kalau Resi Gana Alit sebagai tawurnya enam bulan
(kekuatan) perlindungannya. Kalau Resi Gana Agung bentuk tawurnya
(kekuatan) perlindungannya enam tahun. Kalau Panca Sanak Alit bentuk
tawurnya (kekuatan) perlindungannya setahun tiga bulan. Kalau Panca
Sanak Agung bentuk tawurnya (kekuatan) perlindungannya lima tahun lima
bulan. Kalau Tawur Agung bentuk tawurnya (kekuatan) perlindungannya
sembilan tahun. Kalau Tawur Gentuh bentuk tawurnya (kekuatan)
perlindungannya sepuluh tahun. Kalau Panca Wali Krama bentuk tawurnya
(kekuatan) perlindungannya dua belas tahun enam bulan. Kalau Amalik
Sumpah bentuk tawurnya (kekuatan) perlindungannya delapan tahun. Kalau
Ekadasa Rudra bentuk tawurnya (kekuatan) perlindungannya sebelas tahun.
Kalau Arebhu Bhumi bentuk tawurnya (kekuatan) perlindungannya seumur
manusia perlindungannya. Demikianlah perlindungan masing-masing tawur,
ketahuilah.
Kalau Resi Yajna itu adalah mempersembahkan makanan kepada para maharesi
yang disertai dengan kain dan kampuh, mas, perak, permata mulia. Besar
kecil punia (pemberian) itu Resi Yajna juga namanya, disertai dengan
pikiran yanh suci dan tidak ada rasa terikat akan miliknya, karena Resi
Yajna akan melenyapkan segala dosa dan kemalangan orang yang beryajna
sampai dengan lima bentuk kesengsaraan leluhurnya. Demikianlah
pahalanya. Oleh karena telah disucikan oleh para resi seluruhnya.
Adapun Pitra Yajna adalah sesajen (saji) kepada Sang Dewa Pitara
(leluhur). Lebih-lebih menyelenggarakan Sawa Prateka, menebus atma orang
yang meninggal pada Sang Hyang Yama Dipati dan pada kelompok Kingkara
Bhuta, yang menghukum atma dengan lima bentuk penyengsaraan. Demikian
upacara terhadap jenasah, memberikan sang dewa Pitara (leluhur) untuk
menikmati sorga, oleh karena ada dosanya pada waktu masih hidup di
dunia, makanya sekarang menerima penderitaan di neraka dihukum oleh Sang
Hyang Yama Dipati, dihukum oleh para Kingkara Bhuta. Itu yang
menyebabkan patut ditebus dengan suatu upacara sesuai dengan tatacara
memuja Pitra (roh leluhur) dengan Pitra Yajna sebagai sarana agar sang
atma dapat kembali kea lam sorga.
Dewa Yajna yaitu memberikan persembahan kepada Dewa pada hari yang baik
dengan mendirikan sanggar parhyangan sebagai tempat pemujaan, membuat
patung perwujudan dewa dan leluhur yang telah ”didewatakan”, membuat
inimyan-imyan untuk disembah dan sebagai pesembahan kepada Tuhan. Dengan
pikiran yang suci dibuatlah pancangra untuk keperluan bersama dan
peletan (tempat peristirahatan?). itulah Dewa Yajna sebagai penghapus
papa penderitaan, baik yang dibawa sejak lahir maupun kemalangannya
dalam hidup di dunia ini. Besar-kecil upacara itu juga Dewa Yajna
namanya, yang menyebabkan langgengnya (kekalnya) sang hyang at,a dan
jiwannya seluruh alam, oleh karena langgengnya yoga para dewata
menyebabkan bertambahnya kebaikan dunia ini. Demikian, ingatkanlah.
Adapun manfaat dari Siwa Yajna, karena Yajna itu ditujukan untuk sang
hyang Siwapati yang dilaksanakan oleh orang yang setia kepada guru. Hal
itu akan menghilangkan papa dan penderitaan, serta menyebabkan leburnya
kebencian dalam diri.
Bagaimanakan wujud bhaktinya kehadapan guru itu, merupakan penyebab
keberhasilan persembahannya itu? Yaitu ketika sang guru masih hidup
dipersembahkan makanan berupa umbi-umbian, buah-buahan serta segala
sesuatu yang dapat dipersembahkan kepada guru yang disertai dengan
pikiran yang suci, setia dalam tindakan, berbudi luhur. Pada waktu
kematian sang guru, ia bisa melaksanakan upacara penyucian dan
menghantarkan atma sang guru ke alam kelepasan dengan menyelenggarakan
seluruh upakara Pitra Yajna. Sehingga atma dapat kembali ke alam sorga
bersatu dengan para dewata. Itu semua akibat bhaktinya seorang siswa.
Demikian, ingatlah.
Guna dari Aswameda Yajna, ketahuilah olehmu anaku, adalah yajna untuk
membebaskan seisi dunia, menghilangkan segala kekotoran di dunia,
terutama segala dosa, segala yang menyeramkan, segala yang gaib, segala
yang buas, segala penyakit tanaman, karena semuanya tersucikan oleh
yajna itu, apakah itu binatang, mahluk hidup, manusia, sampai pada
detya, danawa, raksasa, Bhuta, kala, dewa, dan Bhatara. Itu semua akan
tersucikan dengan dibuatkan “homa”, sebagai stana Sang Hyang Agni yang
menyala, membakar seluruh kekotoran di dunia.
Demikian yang dilaksanakan oleh orang yang bijaksana pada masa
pemerintahan Aswayambhuwa. Manu mengharapkan kokohnya dunia. Demikian
juga tatacara yang harus dilaksanakanbila ada negara/kerajaan yang tidak
ada pemimpinnya atau meninggal, meskipun meninggalnya karena kena
kutukan, sial, tanda-tanda buruk, beliau sang yajamana mengetahui hal
itu, karena raja akan binasa oleh musuh, maka itu patutlah Bhatarì
Umapati dipuja dengan menyelenggarakan Homa Aswameda Yajna serta
pemujaan Sang Hyang Saraswati. Beliaulah yang dapat memulihkan kebaikan
dunia termasuk juga sorga dan tempat suci kalau mengalami benacana.
Dmeikianlah tata caranya, oleh karena sang Yajamana disebut catur
asrama, asal dan kembalinya seluruh dunia. Beliau adalah perwujudan Sang
Hyang Catur Weda.
Catur Weda itu sebagai jiwanya dunia yang disebut Sang Hyang Jagat
Kantar, beliau adalah sumber segalanya, beliau adalah tujuan saat
lenyap, beliau adalah asal kelahiran, beliau bersifat besar dan kecil,
beliau ada dan tiada, beliau adalah penyatuan dunia. Oleh karenannya
semua pekerjaan tidak akan berhasil apabila tidak bersaranakan sang
Hyang Catur Weda, oleh karena beliau adalah simul kesuksesan kerja.
Lebih-lebih engkau anaku, sekarang kuberitahukan kamu dan tujuanmu
sekarang, oleh karena kamu telah aku sucikan, maka tidak lagi engkau
bernama Bhatara Kala, Sang Hyang Bhuta Raja namamu. Jangalah engkau
tidak mengindahkan akan tujuan semua yajna yang dilaksanakan oleh
manusia di dunia. Besar-kecil yajna yang dilaksanakan tidak akan
berhasil lebih tidak bersaksikan Sang Hyang wedha Carana, sebab Sang
Hyang Weda Carana adalah wujud dari yajna, bersama dengan Sang Hyang
Siwa Aditya. Itulah sebabnya mendirikan sanggar tutuan apabila
melaksanakan yajna dalam tingkatan menengah, sanggar tawang rong tiga
apabila yajna dalam tingkatan utama.
Seajen yang patut dinaikan pada sanggar tutuan, hany ardhanareswari
terdiri atas, suci 2, Siwa bahu, cucuk bahu, dewa-dewi, tidak
menggunakan banten sor, hanya menggunakan guru bungkulan, daksina
rongan.
Sesajen yang dinaikan pada sanggar surya sewana: catur mukti, daksina
sarad, suci catur, gana alit mwang citra gotra, dewa-dewi, Siwabahu,
cucukbahu, memakai banten sor, mapageyam, tatacaranya patut menggunakan
tempat pijakan (tapakan) bawi plen disertai dengan ayam lima warna, Yama
Raja Alit, dialasi tepung putih.
Kalau upakara yang dilaksanakan dalam tingkatan menengah, pada sanggar
surya sewana boleh menggunakan “Catur Ebah” dan perlengkapan seperti di
atas. Kalau dalam tingkatan rendad; sepatutnya memakai “Catus Sari”
dengan perlengkapan suci 2, disertai dengan citra gotra. Demikian
tatacaranya. Di bawah (sor); babangkit asoroh, dasarnya caru bawi plen,
kalau tidak babi, dapat digunakan itik berbulu sikep dan patut disertai
dengan ayam lima warna. Pada padudusan; babangkit asoroh memakai gayah
utuh disertai dengan kelengkapan upakaranya sorohan, sesayut paideran
lengkap. Di depan pemujaan; itik diolah 2 ekor, sebagai lampadan
dijadikan 15 tanding (bagian).
Kalau mendirikan sanggar rong tiga, ketahuilah rincian sesajennya
olehmu. Pada ruang (rong) bagian tengah: tumpeng 10, guling itik, 2,
tumpeng guru 7, tumpeng catur 4, itik digoreng 1, dibuat seperti urip
(winangun urip), itik lada 1, byu 4, sasamuhan 4, saraswati 2,
pancaphala 2, sasamuhan catur 4, lingga 2, sekah dewa 2, lawe 2, jinah
450, kain putih 2 setel, saput empat warna uang 900, duma uang 50 pala
2, pupus i jenar 16, uang lingga 33, disertai kukumbu, kelapa singgat
ditempatkan pada tamas, catur muka waidyagana serta kelengkapannya, Yama
Raja, suci seperti yang dulu.
Pada ruang (rong) sanggar kanan dan kiri; tumpeng masing-masing 4, itik
diguling lengkap masing-masing 2, lada masing-masing 2, sasamuhan
masing-masing 2, saraswati masing-masing 2, pancapala 2, saput 1, uang
225, jebugaram 1, berisi duma 25, pupusi jenar 11, suci waidya
masing-masing 2, dilengkapi dengan pras ajuman, daksina gede seperti
biasanya. (banten) di depan pemujaan sama seperti di depan.
Caru di bawah (sora); babi diolah 1, diolah dijadikan sate dengan
masing-masing galahan, tulangnya dibuat seperti hidup (winangan urip),
babi guling 1, caciri guling babi betina yang masih muda 1, guling itik
1, babangkit 1, tadah 1, pras, benang satu gulung, uang 225, ayam
dipanggang 12, uang taled babangkit 225, benang satu gulung, sega
cacahan 11 tanding, ikannya gagempungan ditempatkan pada nyiru baru,
uang untuk alasnya masing-masing 11, sayur sakawali, glar sangha, sega
garuda, timbunan acatu ditempatkan pada nyiru baru, ditulis garuda.
Ikannya sate 23.
Tatacara upacara Adudus Agung telah dijabarkan dalam Aji Tapahini,
pelajarilah. Di situ telah dimuat rincian masing-masing yajna dan pada
Plutuk, pada Putru Sangkara juga telah dijelaskan termasuk rincian Sawu
Wedana, Asti Wedana, Atma Wedana, semuanya telah dimuat. Hal itu patut
diketahui, janganlah sembarangan, karena sepetutnya juga engkau yang
memiliki sebagai santapan, terutama dalam Rogha Sanghara Bhumi dan
Prakempa (pada masa kekacuan dunia dan pergolakan dunia). Apabila
penyuciannya tidak sesuai maka engkau dapat menghukum manusia di dunia,
dengan mengajak prajurit kalamu, Sang Hyang Purusangkara namamu dan
engkau boleh menciptakan pertanda buruk, yaitu isyarat buruk di bumi.
Apabila telah sampai pada akhir usainya bumi, sapai pada jaman Kala
Yuga, Sang Hyang Kala Mretayu namamu. Pada masa Kreta Yuga Sang Hyang
Mretyu Jiwa namamu.
Demikianlah caramu menjaga dunia, janganlah acuh.
Berkatalah Bhatara Kala kepada ibunya, “Yang Mulia Bhatarì, kalau ada
orang kena penyakit, bagaimanakah upacaranya yang manjur (untuk
menyembuhkan)? Mohon beritahukanlah putra Bhatarì”.
Bhatarì berkata: “Aum putraku Hyang Kala, kalau ada orang yang sakit
panas luar biasa, ada obatnya”. Obatnya, bahanya; ;engkuas muda, bras
yang direndam, sembur tulang ekornya. Apabila dalam tiga hari belum juga
sembuh, (obatnya diganti) dengan bahan; daun sirih yang sudah tua,
garam, diremas, disaring dengan kuat ditambahi klabet, sembur tulang
punggungnya. Kalau tidak sembuh, maka jadilah panes maleman, badanya
panas keras pagi sore, kalau panasnya hilang-datang lagi, itu disebut
tiksna kapendem (tipes). Obatnya, bahanya; bligo arum, tem utis, bawang
tambus, diparut semuanya, peras kemudian disaring, panaskan dengan
kawali baja, lalu diminum, maka keluarlah panasnya. Kalau panasnya tidak
keluar, badanya akan berkeringat, maka panasnya akan reda. Kalau tidak
demikian, dan masih seperti dulu, akhirnya keluar darah seperti daging
yang dicincang, maka mati jugalag akhirnya orang yang demikian.
Namun jika panas badanya datang (dapat diobati) dengan bahanya;
lengkuas, gamongan, temu tid, diparut, diisi air beras sembur seluruh
tubuhnya. Apabila panasnya setiap sore dan nafasnya melemah, jari-jari
tangan dan kakinya dingin setiap sore, dari mulutnya keluar hawa panas,
sebeha gantung orang yang demikian. Obatnya, bahanya; akar kutat kedis,
akar kelapa mulung yang masih muda, akar kecemcem, lublub buhu, sinrong
gagambiran, diisi kapur bubuk (air kapur yang bening), beningnya direbus
dengan kuwali waja, setelah masak diminum.
Kalau badanya panas setiap sore, tenaganya lemas, nafas yang keluar dari
hidung panas, sebaha orang yang demikian. Obatnya, bahanya; lublub
(kulit air) buhu, lublub tingkih, ketan gajuh, gesokan air cendana, air
jeruk, garam uku, lalu diminum.
Kalau bibirnya karing, nafas yang keluar dari hidung panas setiap sore,
tangan dan kakinya dingin, sebaha jampi orang yang demikian. Obatnya,
bahanya; air kesimbukan, air rendaman penyalin, damuh tlengisan, pijer
cina lalu diminum. Itu yang disebut dengan satu panas menjadi banyak.
Janganlah kau sembar orang yang panas demikian. Apabila panas yang
demikian disembar terlebih dahulu patut di tapa-kan.
Kata Durga (Kala): ”Oh Yang Mulia Bhatarì, bagaimanakah tapa itu?
Dimanakah tempat tapa itu?”. Sabda Bhatarì Durga: ”Begini tata caranya
tapa. Kalau ada orang yang meminta padamu, janganlah engkau tidak
meberi. Asal ada yang dimintanya, maka berikanlah ia. Itulah bertapa
namanya”.
Adalagi orang yang menghaturkan persembahan padamu, janganlah engkau
memilih persembahan, sebab persembahan itu perwujudan Sang Hyang Amerta,
alangkah papanya tidak akan manjur jadinya. Apa diantaranya; bisa,
tataban, carikan, lungsuran, paridan. Itu semua boleh engkau
menyantapnya.
Kata Sang Durga (Kala) ”Oh Yang Mulia Bhatarì, alangkah cemarnya
persembahan itu. Apabila lungsuran Sang Hyang Siwa Guru sangat senanglah
putra Bhatarì, karena Sang Hyang Siwa Guru amat suci”.
Sabda Bhatarì: ”Baiklah apabila demikian caramu memandang, kalau ada
orang wanita menginjakan kakinya di kuburan, tidak maukah engkau anaku?
Adapun Sang Hyang Giri Putri amat suci dan amat cemar”. Apa yang
menyebabkan demikian? Giri artinya gunung. Gunung artinya tanah. Putri
artinya anak. Anak artinya terlahir. Lahir artinya sila. Sila artinya
batu. Kalau ada orang yang tinggal di gunung, maka di gunung juga
tempatnya melahirkan anak-anaknya dan di gunung juga tempatnya melakukan
senggama”. Demikianlah sabda Bhatarì Durga.
Lagi yang perlu diketahui mengenai Bhatara Rama Wijaya. Bha artinya
asal. Ta artinya lahir. Ra artinya memenuhi dunia. Rama artinya Bapak.
Wija artinya Anak. Yama artinya ibu. I Bapa artinya mulut. Anak artinya
Jihwa. Jihwa artinya lidah. Yam artinya Ibu pahledan. Itu nama Batara
dalam badan. Itu yang disebut Sang hyang Titah, beliau asal yang
memberikan perintah, yang memerintahkan semuanya. Siwa artinya siwi.
Siwi artinya junjung (meletakan di atas kepala). Itu artinya Siwadwara
artinya ubun-ubun.
Dari mana ia akan keluar apabila tidak ada jalan keluar dalam badan
(sama halnya dengan) manusia tanpa badan. Kalau di dalam badan
bagaimanakah baunya? Harum dan menyegat. Kalau orang yang meningga; juga
tidak berkata, sebenarnya Siwa-Buddha adalah dewa yang sebenarnya yang
berasal dari soga. Karenanya pada saat pujawali dewa dibuatkan
Widhi-widhana, memohon air suci dari Sang Siwa Buddha adalah Dewa
sebagai penyukses pelaksanaan dewa yajna, demikian juga pada orang yang
meninggal. Dibuatkan widhi-widhana, disucikan oleh brahmana Siwa-Buddha,
sebagai phalanya kembalinya Sang atma ke sorga. Kalau ada orang yang
tidak menggunakan tirtha Sang Siwa-Buddha, selamanya tidak akan
menemukan sorganya, karena orang itu tidak disucikan oleh Siwa-Buddha,
wajar menemukan lima macam kesengsaraan sama seperti atma orang yang
mendapat kutukan, tidak akan menjelma menjadi manusai lagi, akan
tenggelam di dalam kawah (neraka).
Lagi padahal bahisa yang artinya bijaksana. Carikan artinya segala yang
sudah selesai, diantaranya; sapi disebut sisa makan dari bajak, sisa
dari peralatan. Tanah disebut sisa dari bajak. Padi, jagung, ketela sisa
dari kerbau, sapi. Bras, oran, cacah, sisa dari peralatan buatan pande?
Tataban artinya segala yang terinjak, diambil. Paridan artinya, segala
yang dibwa. Ayaban artinya segala yang dipilih. Lungsur artinya tua,
basi itu sesungguhnya adalah lungsur.
Perintah Weda. Ong artinya manusia. Toyam artinya air. Air artinya
gangga. Satam artinya seperti. Candam artinya wangi. Puspam artinya
bunga. Samara payam artinya tampak sekilas. Nagni rah artinya darah
yaitu api. Gni artinya tempat. Itulah yang berujud api. Netra bang
artinya mata merah artinya surya candra. Itu yang disebut Rwa-Bhineda.
Rwa artinya dua. Da artinya menjadi. Tidak ada dewa di alam semesta
tetapi dalam juga tempatnya.
Jantungmu Bhatara Iswara namanya. Paru-paru Bhatara sangkara. Hati
Bhatara Brahma. Usus Bhatara Ludra. Buah pelir Bhatara Mahadewa. Limpa
Bhatara Mahesora, Sangkara. Nyali Bhatara Wisnu. Sekat rongga badan
Bhatara Sambhu. Tutud dan lainya adalah Bhatara Siwa. Demikianlah sabda
Bhatarì.
Lagi berkata Sang Durga (Kala): ”Oh Yang Mulia Bhatarì, bagaimanakah
terjadinya orang yang terkena batuk yang tak henti-hentinya?”.
Sabda Bhatarì: ”Beginilah terjadinya, dahulu ketika masih sehat ia batal
kentut. Setelah lewat 15 hari ia tidak tahu asal muasal sakitnya yang
demikian, mati juga orang yang demikian tidak dapat diobati, itu jadinya
batuk yang tidak henti-hentinya sampai-sampai seperti mau mati. Setelah
itu suaranya serak keluar seperti dahak, disebut jampi maling. Tetapi
kalau masih dalam waktu 12 hari, orang itu dapat sembuh. Ini obatnya.
Bahanya; kulit belimbing besi juga kulit akarnya dibakar, kunir,
warangan dibakar, asam dipanggang. Dicampur dengan pulasi, bawang
dibakar, air beras ketan gajih lalu diminum.
Kalau terasa kena jampi upas. Bahanya daun gendola putih, temu tis.
Dicampur dengan bawang adas sembur lambunya keliling. Untuk diminum,
bahanya; sembung wangke, jaum-jaum putih. Dicampur pulasi dan bawang
adas.
Kalau ada orang persin pelan-pelan kemudian berkali-kali bahkan
hampir-hampir mati. Akhirnya kronis yang menyebabkan batal persin,
kronis jadinya. Obatnya, bahanya; jeruk purut, lengkuas kapur, temutis,
kencur, kunir terus dibungkus dibuat seperti tum. Setelah matang
diperas, disaring dicampur dengan asam cuka tahunan, dan air gosokan
cendana. Dicampur dengan kemenyan, kumukus, pulasai, lalu diminum.
Membuat obat itu pada hari Kajeng Kliwon. Kalau tidak Kliwon, Kajeng
saja boleh. Sebagai bedaknya daun beringin yang jatuh, kencur
dipanggang, pulasi dan alas.
Apabila ada orang yang mencari tukang (dukun), diperhatikanlah orang
tersebut dengan cermat kakinya pada waktu baru naik pada lantai rumah
(bebaturan). Kalau kaki kanannya naik duluan, maka ciri-ciri si sakit
adalah bubuk badanya yang sakit, lesu, hulu hatinya terasa sakit,
pusing, demikian sakitnya. Obatnya bahan; Kasisat putih, siledaka,
maswi, pulasai, diminum. Sebagai bedaknya; daun kendal, kencur, cendana,
dicampur pulasai.
Kalau kai kirnya naik duluan, sang sakit sakitnya pada hulu hati,
pimggangnya sakit, lesu, pusing, dan bila sakitnya lewat sepuluh hari,
tidak ada orang yang bisa mengobati, mati juga orang yang demikian.
Seperti apa penyakitnya yang menyebabkan kematiannya? Keluar darah dari
ketiak, dari rambut, dari dubur, dari lubang bulu, itu tidak bisa
ditolong, bayu kasuduk namanya. Obatnya; bahanya: temu poh, temu akar,
lengkuas. Dicampur, cengkeh, phala kurung, sampar wantu, santen dari
kelapa mulung direbus sampai kental, pipis terlebih dahulu. Setelah
matang dijadikan bulatan (pil), ditelan setiap hari, uang 77, lengkap
dengan upakara sesantun. Mantranya ”Bena putih katemu tulung, pangetas
ptpah iku bulisah”. Cranya mlapalkan mantra dengan menahan nafas.
Sebagai bedaknya: lengkuas yang dibakar, dicampur kemiri dipanggang,
isinya dihaluskan, diisi daun tunggal.
Adalagi tanda-tanda orang yang mencari tukang (dukun) pandanglah
matanya, bila matanya kelihatan merah, tanganya meraba-raba, orang yng
sakit kepalanya sakit, perutnya sakit, kakinya sakit, kena racun
berkualitas tinggi (wara guna), kelamaan mati orang tersebut. Bagaimana
jalan kematiannya? Mengapa bersendawa, gemetar, keluar keringat tidak
henti-henti. Setelah itu mendelik matanya, mengeluarkan suara
mendengung, kalau sadar ia akan kambuh seperti semula. Obatnya; bahanya:
ibunya temu, lubangi isinya kemudian masukan kemenyan, air arak seharga
2 kepeng, kemudian dibungkus dan ditambus (dibakar). Setelah matang
dicincang sampai halus, peras, saring, beningnya diisi klabet, jintan
hitam, tetesi hidungnya. Untuk diminum; bahanya daun bengkel putih,
tmutis, kacang ijo, dilumatkan, peras, saring, panasi dicampur dengan
putih telur. Setelah matang diisi air jeruk purut, lagi dipanaskan
dengan kwali baja.
Setelah matang lagi dirajah. Campurkan dengan cengkeh yang masih tutup
buanganya, dihaluskan, gula sari, merica, air jeruk. Setelah dicampur
lagi dipanaskan secukupnya dnegan menggunakan tempurung kelapa (dasar).
Ini rerajahan pada tempurung kelapa (dasar) NDE YUNG MUNG.
Setelah dipanaskan diisi dengan air ketan gajih, lalu diminum, pahalanya
segala penyakit yang ada dalam perut sembuh dengan obat itu. Obat ini
tidak memilih penyakit. Membuat obat sebaiknya pada hari Jumat Kliwon
Kajeng walaupun tidak Kliwon, asal ketemu Kajeng boleh juga. Dan sebagai
bedaknya bahanya: gamongan, cendana, air anakan, air jeruk ditempatkan
pada limas yang terbuat dari daun andong. Setelah ditempatkan rajah
burat (bedak)? Itu. Ini rerajahannya:.............Phahalanya, kalau
terasa lupa dan tidak bertulang akan sehat dengan obat itu.
Lagi perhatikanlah ciri penyakit orang yang sakit yang tidak kelihatan,
dengan cara memperhatikan orang yang mencari tukang (dukun), cirinya
dapat diperhatikan dari matanya dari suaranya. Kalau kelihatan putih
matanya kelihatan kekuning-kuningan, bulunya kejur, suaranya berat
sekali, apa sakitnya; sesak hatinya, terangah-engah dadanya banyu mala
namanya. Lagi bergolak di dalam hatinya, tetapi kalau sampai tujuh hari
penyakit itu kalau tidak bisa mengobati mati akibatnya. Kalau tidak mati
gila orang tersebut. Obatnya; nahan, akar slagwi, lanang, kencur,
sembung, haluskan, peras, saring direbus dengan kwali waja. Ini
rerajahan pada kwali......... setelah direbus tuangkan minyak kelapa,
campurkan dengan wangkawa, mundar parawos, lalu diminum. Setelah selesai
diminum, berikan minuman nira satu dasar (tempat minum dari batok
kelapa). Sebagai bedaknya, temutis, gamongan, bunga sandat, bunga
belimbing, air tuak manis, panaskan sampai matang. Kalau mandi jangan
memakai air panas, air mati namanya.
Apabila pada mata orang yang mencari tukang (dukun) kelihatan
kekuningan-kuningan, bicaranya cabul bercampur guyon, dan si dukun
mengeluarkan nafas dari kedua lubang hidungnya. Kalau nafas yang keluar
dari hidung kanan lebih deras dan kencang, berat penyakitnya bahkan
hampir-hampir mati. Penyakit orang yang dicarikan dukun adalah lelah,
puyeng, sekujur tubuhnya panas sekali dan gelisah, terasa tidak memiliki
badan, ototnya terasa sakit seperti kering. Kalau sampai enam hari
sekitnya kalau tidak ada orang yang mampu mengobati, matilah akibatnya,
muntah darah tidak putus-putusnya. Demikian jalan kematiannya. Obatnya,
nahanya; daun pancasona yang sudah kuning, asam tanek, dicampur dengan
bawang tambus lalu diminum. Bedaknya janganlah dimandikan, sebab akan
mengakibatkan meninggalnya, sebaiknya dibuatkan pengulapan? (penawutan).
Bahanya; air lempuyang, air baras, air gosokan cendana, biji jalawe.
Bahannya yang lain; lempuyang tiga iris, air cuka panaskan secukupnya.
Apabila berbuah-buah badan orang yang mencari dukun dua datangnya sangat
cepat, jalan nafasmu (dukun) di hidung. Kalau sama derasnya, (itu
tandanya) bahwa orang yang dicarikan dukun sakit setiap dua hari, hulu
hatinya yang sakit memat, sering berludah, perutnya buncit. Obatnya;
bahanya, sulasih, myana cemeng, kasimbukan putih cakcak, pres saring.
Dicampur phala, bunga sengkeh yang masih kuncup. Sembur hulu hatinya,
nahanya; daun sirih yang sudah tua, kencur, lengkuasm kunir tiga iris.
Bedaknya, sirih yang bertemu uratnya, kencur dibakar separo, asam yang
dipanggang, sampar wantu dibakar, pulasai, air gosokan cendana, air
keruk. Mantranya: ”Ah Sardang sarira mati kukus ules kukus kaulesan”.
Ini yang disebut Puspa Kalimosadha. Ketahuilah penyakit seseorang, pada
badanya melalui ciri-ciri yang tampak pada badanya. Tetapi kalau memakai
ilmu ini agar di tapakan terliebih dahulu. Apabila telah berhasil
mengusai, maka phalanya bila ada orang yang mencari dukun perhatikanlah
badanya akan kamu ketahui penyakit orang tersebut, apakah ia akan mati
atau hidup akan terasa melalui badannya. Apabila akan hidup, maka
datanglah orang yang sakit membawa daun beringin meminta agar diobati.
Apabila akan meninggal akan datang orang membawa mayat dalam mimpi juga
dalam samadhi.
Lagi apabila ada orang mencari dukun pagi-pagi sekali pada saat si dukun
masih tidur, yang mencari orang laki-laki, maka yang sakit adalah
perempuan awal sakitnya adalah panas dan sudah dicarikan dukun serta
sudah dapat disembur panas itu, akhirnya panas masuk ke dalam. Lama-lama
penyakitnya sering dicarikan (berganti) dukun, akhirnya ke luar darah
dari duburnya menyerupai daging cincang untuk lawar. Setelah itu
perutnya kembung tidak bisa berak tisak bisa kencing, lehernya
(tenggorakannya) bengkak sehingga tidak bisa menelan, demikian pula
pahanya yang di kiri bengkak. Demikianlah penyakitnya. Meninggal juga
orang yang demikian. Obatnya, bahan; baligo arum, temu tis, bawang
tambus, semuanya diparut peras saring panaskan dengan kwali baja,
kemudian minumkan.
Ini obat untuk segala panas dalam.
Apabila bengkak pada salah satu bagian tubuhnya, (obati dengan) nahan;
daun kakrepetan, bawang adas, pucuk daun andong yang masih muda,
kemudian oleskan pada bgian yang bengkak (setelah dilumatkan terlebih
dahulu).
Apabila perutnya kembung (bengka) tidak bisa kencing, tidak bisa berak
(obati dengan) bahan: kulit pohon dadap, bawang adas, sembur perutnya.
Lagi bahannya: pucuk pandan yang masih muda, pucuk nenas yang masih
muda, pucuk andong yang masih muda, pucuk nira yang masih muda, bawang
adas, sembur di bawah duburnya.
Lagi bila ada orang mencari dukun adalah seorang laki-laki, saat malam
hari ketika si dukun sudah tidur, yang bersangkutan dengan kata
tergesa-gesa (sengap). Bagaimana sakitnya? Yang sakit adalah orang laki.
Badanya panas karena disembur. Setelah disembur panasnya lalu masuk ke
dalam (apabila) kumat badanya panas luar biasa. Setelah itu mengeluarkan
darah seperti daging yang cincang. Setelah itu akan kejang sekali dan
ingat pada dirinya serta nafasnya ”kredek-kredek” (seperti nafas
kucing), dan keluar keringat di sekujur tubuh. Demikianlah jadinya,
peras dan saring, panaskan dengan kuali baja. Apabila panas seperti
sebelumnya, maka sehatlah orang yang demikian.
Inilah tanda-tanda orang yang hamil. Apabila otot pada putih matanya
bercahaya kekuning-kuingan, ujung rambutnya samara-samar kelihatan
kehijau-hijauan. Lagi perhatikan orang-orang pada matanya (?) di depan,
apabila kelihatan seperti bergerak-gerah (padrutdut) di tempatnya,
apabila anaknya lahir kemudian samadigalar. Meninggal jabang bayi itu.
Apabila jabang bayi tidak meninggal, maka ibunya yang meninggal.
(sebabnya) ketika baru ngidam kena wisya taruna yaitu nafasnta
tersendat-sendat (cekutan) di tempat tidur. Tetapi jika ingin hidup bisa
juga. Obat, bahan; daun jeruk, limau, daun sirih yang kuning, semuanya
dilumatkan, peras dan saring. Dicampur lunak tanek, ketumbar, klabet,
dasun jerangan, panaskan sampai matang. Setelah matang air dengan cuka
tahunan, air jeruk, minyak kelapa, minumkan.
Lagi tanda-tanda orang hamil, apabila kulit putih matanya kelihatan rada
keputih-putihan, kakinya seperti biri-biri dan rada kekuning-kuningan.
Lagi perhatikan tidurnya apabila terdengar nafasnya (seperti
mengeluarkan) suara keras dan cepat, itu (tanda) si hmil akan meninggal.
Bagaimana tanda-tandanya? Lemah selalu dan kuat tidurnya. Keinginannya
untuk makan hanyan kadang-kadang. Setelah bayinya lahir, seketika
sekujur tubuh (ibunya) biri-biri, itulah yang disebut kena moyo banyu.
Apabila dimadikan maka meninggallah ia setelah melahirkan. Apabila ada
orang demikian janganlah mengobatinya karena akan meninggal juga orang
itu.
Sabda Bhatarì (Durga Dewi): ”Nah inilah intisarinya, ketahuilah ajaran
uttama yaitu Canting Mas dan Siwer Mas, manfaat ajaran ini sangat utama.
Setiap orang yang menggunakan akan memperoleh keberuntungan dan
kerahayuan (keselamatan). Semoga mendapat kesenangan dan tidak menderita
sakit, selutuhnya akan disucikan oleh ajaran ini. Mantra ii sangat
utama manfaatnya, yaitu:
Ada yang disebut Wre-astram itu menjadi wangsita (tanda-tanda). Ada
modre, itu menjadi kamoksan. Ada swalalita menjadi mantra. Demikianlah
perinciannya. Karenanya semula ada 20 huruf banyaknya semua, kesemuannya
bertemu dengan Na. Na bertemu dengan Ca. Ca bertemu dengan Ra. Ra
bertemu dengan Ka. Ka bertemu dengan Da.
Na bertemu dengan Ya. Ca bertemu dengan Ja. Ra dengan Pa. Ka dengan Nga.
Da dengan Ba. Ta dengan Ga. Sa dengan Ma. Wa dengan La. Lengkaplak
pertemuan Wre-astra itu.
Modre bertemu dengan Swallalita. Itulah yang disebut dengan pertemuan
yang sangat halus saramoksa kamoksan dengan mantra. Itulah yang disebut
prihal dasa-bayu, yang bunyinya: Ih A Ka Sa Ma Ra La Wa Ya Ung.
Ini yang menjadi dasaksara (sepuluh huruf) yang bunyinya: Sa Ba Ta A I
Na Ma Si Wa Ya, dibagi menjadi Pnaca Brahma dan kemudian diringkas.
Inilah (Panca Brahma): Sa Ba Ta A I, sa kembali pada Ba. Ta kembali pada
A. Ya kembali pada I, menjadi Tri Aksara A U Ma yaitu Tri Aksara yang
ada di dalam (kemudian) ditolong oleh angsa....... karenannya bisa
bersuara Ang Ung Mang. Sesungguhnya (AUM) perwujudan bintang bulan
matahari. (sedangkan) Tri aksara yang di luar (Ang Ung Mang) adalah
perwujudan api, air dan udara.
Ang bertempat di hati menjadi api. Ung bertempat pada empedu menjadi
air. Mang kembali pada windu. Windu kembali pada sunya (sepi). Sunya
kembali pada angkasa. Itulah tempatnya amerta.
Ang Ah itu adalah Rwa-hineda, di sutilah ke luar masuknya, pada pangkal
hati menjadi angin (bayu) yang melintang naik turun melalui kedua lubang
hidung. Sebabnya disebut Rwa-Bhineda, oleh karena udara (yang diisap
melalui lubang) hidung kanan terus ke dubur, jalanya nasi dan lauk pauk
udara (yang diisap melalui) hidung kiri terus ke vagina atau penis
tempat jalannya air. Demikianlah Rwa-Bhineda ajaran yang utama.
Dan Ang menjadi Ongkara Ngedeg (aksara Ong yang berdiri) di dada. Dan Ah
menjadi Ongkara Sungsang (Aksara yang terbaik) di dahi. Ongkara Ngedeg
arda candranya pada tulang lengan, windunya pada sekungnya gahu, dan
nadanya pada lidah. Ongkara Sungsang di dahi, arda candranya pada alit
windunya di anatara alis, nadanya pada ujung hidung. Itulah pertemuan,
ujungnya lidah dengan ujungnya hidung kamu seperti mengadu ujungnya
duri, apabila berhasil dipertemukan, maka akan berhasik ditemukan
kemanjuran mantra itu olehmu. Itulah dasar dari segala cara melakukan
ilmu hitam.
Apabila (hal itu) telah dapat dilakukan dengan baik maka akan manjur
jadinya. Apabila tidak demikian maka kamu akan jarang menemukan
kemanjurannya. Tak ubahnya pohon yang tanpa akar.
Apabila ingin membuat penawar yang manjur, pusatjanlah ini dalam
pikiran, rasakan apa yang ada pada tulang ekor, tiup dari pusat, karena
ia adalah api yang ditimbun dengan sekam (agni tabunan). Api yang ada
pada jantung gunakan untuk meniupnya, pikirkan menyala mengikuti ujung
Ongkara Ngadeg yang ada pada dada. Arda candra yang ada pada tulang
leher berwujud api menyala mengikuti windu yang ada pada cegkungan
leher, ia adalah perwujudan sibuh (bejana tempurung kelapa) berisi air.
Lidah itu adalah nada yang merupakan perwujudan air yang diliputi oleh
api.
Apabila sudah demikian pemusatannya maka akan keluarlah asap dari air
penawar yang terdapat dalam sibuh, pahalanya manjur. Tetapi janganlah
goyah pemusatan pikiranmu. Tutuplah ketujuh lubang yang ada di bawah dan
di atas. Maka badanmu akan terasa panas dan nadamu yang ada di dalam
akan bersuara seperti akan sauara genta sayup-sayup. Itu sebagai
pertanda bahwa Sang Hyang Mantra manjur adanya yang bagaikan suara
halilintar (dan) manusia singa, batin merupakan perwujudan manjur juga
adanya.
Ongkara Batuk (Ongkara Sungsang yang ada di dahi), arda candranya ada
pada alis, windunya ada pada antara alis, nadanya pada bintil hidung.
Itulah jalanya amerta dari langit mengalir ke bawah, samapi ke ujung
lidah (Jihwagra). Langit pada otak, (bentuknya) bulat dan warnanya putih
seperti asap, itulah yang disebut langit dalam badanmu.
Amerta itu jatuh bagaikan hujan datangnya. Menghayutkan abunya penyakit
dan racun yang seluruhnya telah terbakar oleh api terus menuju ke otot
(simbul) sungai yaitu pada kaki terus menuju seluruh samudera. Setelah
menyiram racun (kemudian) abunya dinaikkan sampai pada Muladara-Gni.
Lagi rasakan seakan meledak dyun kundi maniknya yang berisi amerta pada
sela-selanya otak. Windu Ongkara Sungsang berada pada tulang kepala. Itu
lagi yang membanjiri api racunnya, lagi mengalir itu akan menjadikan
manjur penawar api nyata itu.
Apabila kena penyakit, kena bisa akan dapat ditawarkan, meskipun orang
yang meninggal tetapi masih muda usianya akan dapat dihidupkan juga
olehnya. Tetapi jika ia sudah berusia tua, maka ia akan meninggal juga.
Semoga bertuah, janganlah diberikan pada orang lain, sangat utama, ia
adalah sastra yang penghabisan. Inilah gagelaran (pedoman) pada diri:
mantra:
Ong Ong Tang nama swaha
Ong Ang Tang nama swaha
Ong Ung Tang nama swaha
Inilah Sang Hyang Barunastra yang kegunaannya sangat utama, banyak pahalanya, lafalnya:
SANG pada jantung BANG pada hati. TANG pada ungsilan. ANG pada nyali.
ING pada patumpukannya hati. NANG pada paru-paru. MANG pada usus besar.
SING pada limpa. WANG pada sekat rongga dada. YANG pada ujung jantung.
ONG pada pangkalnya jantung. Mrestyu masyudi swasesa namah.
http://cakepane.blogspot.com/2012/10/lontar-kala-tatwa-terjemahan.html