Dwijendra Tattwa

Isi Singkat Dwijendra Tatwa
Adalah seorang Brahmana bernama Sira Mpu Nirartha, putra dari Danghyang
Asmaranata.
Ida kawin dengan anak Danghyang Panawasikan serta melahirkan Dewi Swabawa
Kulwan dan Ida Wiraga Sandi.
Tetapi karena cekcok dengan keluarga, beliau pergi dari Puri menuju Pasuruan,
Brangbangan, dan sampai ke Bali.
Setelah beliau sampai di Pasuruan beliau mengambil istri, yang bernama Dyah
Sanggawati.
Dalam perkawinan ini lahirlah Ida Wayahan Ler.
Ida Wayahan Ler yang nanti nya mengalih ke Brangbangan.
Sesampai di Brangbangan, bertengkar dengan Sri Aji Juru.
Juga beliau mengambil istri adik dari Sri Juru yang nantinya menurunkan Kaniten.
Dari perkawinan ini melahirkan Ida Istri Rai, Ida Telaga dan Ida Nyoman Keniten.
Sri Aji Juru menuduh Danghyang Nirartha memasang guna-guna.
Karena itu Danghyang Nirartha diusir dari Blangbangan.
Tak diceriterakan perjalanan beliau dari Blangbangan ke Bali Pulina, sampai di
Purancak.
Setelah bermalam di Purancak, beliau melanjutkan perjalanan menelusuri pantai.
Sesampainya di tengah perjalanan beliau dihadang oleh Naga dan di situ beliau
mengadu kesaktiannya dengan masuk ke dalam perut Si Naga itu.
Setelah keluar dari perutnya Sang Naga, Ida berganti rupa sehingga putrinya Dewa
Ayu Swabawa lari pontangpanting serta bersembunyi di Desa Gading Wani yang
kini terkenal dengan Desa Pulaki.
Setelah itu beliau berjalan di sekeliling desa Gading Wani, di situ beliau disambut
oleh Ki Bandesa Manik Mas, serta mohon agar beliau sudi mengobati penyakit
yang merajalela di desa itu.
Demikian kesaktian beliau, penyakit itu dapat disembuhkan.
Sebagai tanda baktinya Ki Bandesa, putrinya dihaturkan kepada beliau.
Diceriterakan di Manguwi mendengar kabar bahwa Pedanda Wahu Rawuh datang
ke Bali yang kini berada desa Gading Wani, maka dari itu datang utusan untuk
menemui beliau agar sudi menyelesaikan upacara pendirian Pura Wulakan atau
Pura Taman Sari Manguwi.
Juga Ki Bandesa Kapal, keturunan Patih Wulung datang menghadap Sang Padanda
Wahu Rawuh agar beliau sudi memberikan nasehat/ petunjuk/ Upanishad tentang
pelaksanaan pujawali di Pura Sada.
Tetapi ketika Ida Padanda berada di Pura, terlihat Ki Guto melaksanakan upacara,
di situlah Ki Guto dinasehati agar ia melaksanakan upacara upacara pecaruan.
Diceriterakan Ida Padanda berada di Tuban, Sirarya Tegeh Kori di Puri Badung
menjemputnya.
Sesampainya di Purinya Tegeh Kori Ida Padanda Wahu Rawuh, datanglah Ki
Pangeran Mas memohon Ida Padanda agar datang ke desa Mas.
Beliau diharapkan agar sudi tinggal di desa Mas, dengan dibuatkan puri.
Ki Bandesa Mas mohon warah warah Agama, untuk diberikan kepada penduduk
desa Mas.
Sebagai balas jasa Ki Bandesa mempersembahkan putrinya yang bernama Ayu Mas
Ginitir.
Dalam perkawinan ini lahirlah Ida Putu Kidul.
Pada suatu ketika para putranya seperti Ida Kulwan, Ida Ler, Ida Telaga, dan Ida
Mas bahwa seketurunannya dapat berkerabat atau saling ambil.
Juga putra Ida Padanda dari Gading Wani bernama Ida Wayahan Sangsi atau Ida
Patapan.
Dan putra Padanda Wahu Rawuh dari Ni Berit bernama Ida Wayahan Tamesi atau
Bindu.
Kabar berita dari Ida Padanda terdengar ke Puri Swecapura, yang pada waktu itu
diperintah oleh Sri Aji Batur Enggong.
Ida Mpu Nirartha dijemput oleh Kryan Dawuh dengan menunggangi kuda putih
untuk datang ke Puri Gelgel.
Kemudian Ida Padanda bertemu dengan Ida Wayahan Buruwan bersama Ida Ketut
Buruwan.
Di situ keduanya ini disucikan (apodgala)/ diwisuda dan bergelar Padanda Wayan
Burwan di Peling, serta Padanda Ketut Burwan di Manuaba atau Padanda Ketut
Manuaba.
Setelah itu Ida Padanda Sakti Wahu Rawuh menginap di Pura Tanah Lot Tabanan,
dan selanjutnya berjalan menuju Pura Uluwatu dan di situlah beliau melepaskan
nafas terakhir.
Pura pura yang didirikan beliau adalah Pura Bukit Payung, Pura Sakenan, Pura
Herjeruk, Pura Tugu, Pura Tangkulak, Pura Goalawah dan Pura Ponjok Batu.
Juga Ida Padanda Wahu Rawuh melakukan perjalanan ke Lombok sehingga beliau
diberi gelar Tuan Semeru.
Di situlah Ida Padanda Sakti Wahu Rawuh/ Tuan Semeru mendirikan patirtan
seperti Tirta Palukatan, Tirta Pabersihan, Tirta Pangentas, dan Toya Racun.
Setelah lama di Pasraman Suranadi, beliau melanjutkan perjalanan ke Sumbawa.
Sesampainya di Sumbawa beliau disambut oleh Datuk Selaparang.
Hatinya Sang Datuk sangat senang dan diiringi beliau ke tempat suci di Sumbawa
serta diantarkan sampai ke pelabuhan Aji.
Sekembalinya Danghyang Nirartha di Bali yang diantar oleh Ni Denden Wangi.
Sampai di Bali Ni Denden Wangi diterima oleh putranya Danghyang Nirartha di
Manuaba, Danghyang Nirartha menuju Swecapura, dan Dalem hatinya sangat
senang.
Adapun hasil karangan Ida Padanda banyak sekali seperti Rareng Canggu, Wilet,
Wukir Padelengan, Aras Nagara, Segara Gunung, Jugultuwa Wilet Mayura, Antinganting
Timah, dan Arjuna Pralabda.
Bhatara Sakti Wahu Rawuh menasihati Dalem agar memperhatikan putra putra
beliau setelah di tinggal menuju Siwaloka.
Begitu juga sebelum Ida Padanda Wahu Rawuh meninggal, sempat juga
mengumpulkan para putranya Dalem, dan para Arya untuk diberikan pesan terakhir.
Juga diceriterakan bahwa Bhatara Dwijendra bermusyawarah (ararasan) dengan
Bhatara Masceti di Pura Serangan yang kini diberi nama Pura Sakenan.
Tak lama kemudian tiba beliau di Krobokan, lalu melihat tanjung Huluwatu.
Beliau melanjutkan perjalanan menuju Huluwatu yang dijaga/ diiringi
oleh I Buta Ijo.
Tempat itu diberi nama Tegal Peti Tenget, di situ didirikan bangunan untuk
pemujaan Bhatara Masceti.
Pada hari yang baik Wuku Medangsia, Danghyang Nirartha moksa, dan Ki Pasek
Nambangan dilihat membawa jukung dan bunga.
Setelah bertemu, Danghyang Nirartha bersabda agar menyampaikan kepada
anaknya Empu Mas Gianyar.
Sesampainya Ki Pasek Nambangan tiba di Mas Gianyar bertemu dengan putra
beliau.
Empu Mas meminta kepada Ki Pasek agar bersedia untuk mengiringkan nya
berkunjung ke Uluwatu.
Sesampainya di Uluwatu, Mpu Mas melihat pustaka serta menghaturkan sembah
dan pustaka tersebut diboyong pulang ke Gianyar.
Nama/ Judul Babad : Dwijendra Tatwa

Nomor/ kode : Va. 5191 Gedong Kirtya Singaraja
Koleksi : Geria Punia, Sidemen, Kecamatan Sidemen,
Alamat : Kabupaten Karangasem
Bahasa : Jawa Kuna Tengahan
Huruf : Bali
Jumlah halaman : 34 lembar
Ditulis oleh : Geria Pidada, Sidemen, Karangasem
Colophon/ Tahun :
Iti Dwijendra Tatwa, samapta. Puput sinurat ring Geria
Pidada, Sidemen , Karangasem duk ring tanggal 9 Januari
1979 warsaning bumi

DEWA SIWA

Siwa  adalah salah satu dari tiga dewa utama (Trimurti) dalam agama Hindu. Kedua dewa lainnya adalah Brahma dan Wisnu. Dalam ajaran agama Hindu, Dewa Siwa adalah dewa pelebur, bertugas melebur segala sesuatu yang sudah usang dan tidak layak berada di dunia fana lagi sehingga harus dikembalikan kepada asalnya.
Umat Hindu, khususnya umat Hindu di India, meyakini bahwa Dewa Siwa memiliki ciri-ciri yang sesuai dengan karakternya, yakni:
  • Bertangan empat, masing-masing membawa: trisula, cemara, tasbih/genitri, kendi
  • Bermata tiga (tri netra)
  • Pada hiasan kepalanya terdapat ardha chandra (bulan sabit)
  • Ikat pinggang dari kulit harimau
  • Hiasan di leher dari ular kobra
  • Kendaraannya lembu Nandini
Oleh umat Hindu Bali, Dewa Siwa dipuja di Pura Dalem, sebagai dewa yang mengembalikan manusia ke unsurnya, menjadi Panca Maha Bhuta. Dalam pengider Dewata Nawa Sanga (Nawa Dewata), Dewa Siwa menempati arah tengah dengan warna panca warna. Ia bersenjata padma dan mengendarai lembu Nandini. Aksara sucinya I dan Ya. Ia dipuja di Pura Besakih.
Dalam tradisi Indonesia lainnya, kadangkala Dewa Siwa disebut dengan nama Batara Guru.

Menurut cerita-cerita keagamaan yang terdapat dalam kitab-kitab suci umat Hindu, Dewa Siwa memiliki putra-putra yang lahir dengan sengaja ataupun tidak disengaja. Beberapa putra Dewa Siwa tersebut yakni:
  1. Dewa Kumara (Kartikeya)
  2. Dewa Kala
  3. Dewa Ganesa   


Dewa Siwa dan ragam wujud beliau

Dewa Siwa merupakan salah satu Dewa tertinggi dalam kepercayaan Hindu (salah satu Tri Murthi), Dewa Siwa dikatakan sebagai simbol Brahman (Tuhan) dalam kekuatannya melebur alam cosmos (penghancur). Menyambut Siwaratri, berikut sy rangkum beberapa wujud Dewa Siwa yang terkenal:

Dewa Siwa sebagai Rudra (pelebur)
Penggambaran ini adalah yang paling umum. Dewa Siwa diwujudkan dalam aspek yang sengit, menghancurkan, menakutkan dan mengerikan. Rudra berasal dari bahasa sansekerta yang berarti menangis/melolong.


Dewa Siwa sebagai Mahayogin (petapa)
Dewa Siwa digambarkan sebagai seorang petapa yang agung, seorang yogi besar, digambarkan dalam duduk bermeditasi.

Dewa Siwa sebagai Umapati (kepala rumah tangga)
Umapati berarti suami Uma. Dewa Siwa digambarkan sebagai kepala rumah tangga sebuah keluarga. Beliau memiliki istri bernama Dewi Partvati/Uma dan dua orang putra, Ganecha dan Skanda. Dikatakan Dewi Parvati sebagai shakti, artinya sumber energi kreatif Dewa Siwa.

Dewa Siwa sebagai Nataraja (penari)
Penggambaran dimana Dewa Siwa dalam posisi menari. Dua tarian yang paling umum yaitu tarian tandava yang bersifat maskulin (kuat) dan lasya yang cenderung anggun dan lembut. Dikatakan beliau menciptakan dan menghancurkan alam cosmos ini dengan tarian. http://en.wikipedia.org/wiki/Nataraja

Dewa Siwa sebagai Daksinamurthi (guru yoga)
Dewa Siwa digambarkan sebagai seorang guru yoga, musik dan kebijaksanaan. Pengambarannya Dewa Siwa yang duduk di atas kulit rusa yang dikelilingi oleh orang-orang bijak yang menerima instruksi beliau. http://en.wikipedia.org/wiki/Dakshinamurthy

Dewa Siwa sebagai Ardhanarishvara (setengah laki-laki setengah perempuan)
Pengambaran Dewa Siwa dalam bentuk setengah laki-laki setengah perempuan (tuan yang bertubuh setengah perempuan). Dikatakan Dewa Siwa mengorbankan sebagian tubuhnya untuk shaktinya Dewi Parvati. http://en.wikipedia.org/wiki/Ardhanarishvara

Dewa Siwa sebagai Tripurantaka (pemanah)
Dewa Siwa digambarkan sebagai seorang pemanah yang menghancurkan benteng Tripura milik ashura. Digambarkan berlengan empat dan memegah anak panah serta busur. Setelah menghancurkan Tripura, dahi beliau diolesi tiga garis abu. http://en.wikipedia.org/wiki/Tripurantaka

Dewa Siwa sebagai Pasupathi (raja binatang)
Dikatakan Dewa Siwa sebagai rajanya para binatang (ternak). Digambarkan dikelilingi oleh binatang. http://en.wikipedia.org/wiki/Pashupati

Dewa Siwa sebagai Lingam
Simbol Dewa Siwa yaitu batu lonjong yang biasanya dipasangkan dengan yoni. Dikatakan lingam berbentuk seperti alat kelamin pria (purusha) dan yoni seperti alat kelamin wanita (pradhana). Jika keduanya disatukan munculah kehidupan (perlambang kesuburan) http://en.wikipedia.org/wiki/Lingam

Dewa Siwa sebagai Avatar
Dewa Siwa pernah mewujudkan dirinya dalam avatar seperti Virabhadra, Bhairava, Veer Teja, Saradha, Adi Shankara.

Lontar Kala tattwa terjemahan

 
Inilah Kala Tattwa yaitu riwayat Bhatara Kala dari sejak beliau lahir. Diceritakan Bhatara Siwa bersama permaisuri-Nya yaitu Bhatarì Girìputri pergi melihat-lihat laut, samudra. Tak berapa lama sampailah beliau di atas samudra. Tiba-tiba bangkitlah birahi Bhatara Siwa, ingin bersenggama dengan permaisurinya, Sang Hyang Girìputri.
Tidak mulah beliau (Bhatarì Girìputri) karena sadar sebagai perwujudan dewata. Kemudian marahlah Bhatara Siwa. Berkatalah Bhatarì Girìputri: Duhai junjungan, janganlah demikian, (perilaku seperti itu) bukanlah perilaku dewata.
Berkatalah Bhatara (Siwa): ”Ya Bhatarì janganlah demikian, karena tidak terkendalikan keinginanku, jika tidak diberikan tidak senanglah aku”.
Akhirnya (keduanya) sama-sama marah. Namun belum terpenuhi keiginan Bhatara (Siwa), sperma beliau sudah keluar dan jatuh ke laut. Selanjutnya Bhatara Siwa kembali ke sorga bersama dengan permaisuri-Nya.
Tidak diceritakan Bhatara dengan permaisuri-Nya.

Diceritakan Sang Hyang Brahma dan Sang Hyang Wisnu melihat air mani itu, dan laut tampak goncang, lalu beliau berdua beryoga. Maka menyatulah air mani itu menjadi berwujud raksasa besar dan luar biasa. Tidak ada yang menyampai rupanya. Saat itu larilah Bhatara Brahma dan Bhatara Wisnu.
Tidak diceritakan larinya mereka. Diceritakan raksasa itu berkeinginan mengetahui (siapa) ayah dan ibunya. Dipandangnya laut, sepi. Dipandangnya ke Timur juga sepi. Ke selatan sepi. Ke Barat sepi. Ke utara sepi. Ke bawah sepi. Ke atas juga sepi.
Maka berteriaklah raksasa itu bagaikan ruangan singa, sehingga bumi menjadi bergetar, seluruh sorga bergoyang. Lalu keluarlah Dewata Nawasangha seluruhnya, dilihatnya raksasa besar dengan rupa yang luar biasa, berteriak-teriak bagaikan raungan singa. Kemudian bangkitlah kemarahan para Dewata Nawa Sangha, lalu menyerangnya. Dikeroyoknya raksasa itu oleh para Dewata seluruhnya. Tidak cidera (sedikitpun) raksasa itu, lalu ia berkata ”Ah bahagia rasanya ketemu, janganlah engkau menyerangku, aku minta kebenaran”.
Dewata berkata: ”Ah ah kami, jangan banyak bicara, karena engkau raksasa amat jahat, tak bakalan tidak engkau mati”.
Lalu mereka berperang. Akhirnya kewalahan para sewa itu dan dikejarnya. Para dewata berhamburan lari menuju ke hadapan kaki Bhatara Siwa.
Selanjutnya mereka bersama-sama melaporkan: ”Ya junjungan, ini ada musuh paduka datang menuju ke hadapan paduka, berwujud raksasa mengobrak-abrik kahyangan. Tak tercedrai oleh putra paduka seluruhnya, apabila paduka tidak mau terjun ke medan perang, niscata seluruh kahyangan akan hancur”.
Sabda Bhatara Siwa: ”Ah uh uh ah mah, janganlah engkau ragu-ragu, aku hadapi sekarang”. Lalu beliau keluar dan ditemuinya raksasa itu. ”Aum engkau raksasa, sangat besar dosamu. Matilah engkau olehku”.
Kata si raksasa: ”Nah keluarlah engkau sekarang”.
Selanjutnya terjadilah perang tanding yang sangat dasyat, saling robek, saling tikam, kemudian Bhatara Siwa lari, sebab raksasa itu tidak dapat dilukai dengan senjata bajra. Karena itu Bhatara Siwa dikejar, Bhatara Siwa lari terbirit-birit, gemetar, lalu mengipaskan badanya sesampainya di tempat kejauhan. Dari sana Bhatara kembali seraya berkata: ”Aum kamu raksasa, apa salahnya Sang Catur Loka Phala? Dan apa yang menyebabkan engkau menyerang seluruh penghuni kahyangan”.
raksasa itu berkata: ”Tidak ada keinginan aku untuk berperang, aku hanya ingin bertanya padanya. Betul paduka karena aku tidak mengetahui siapa ayah ibuku”.
”Nah kalau demikian potonglah terlebih dahulu taringmu yang di kanan, baru ketemu ayah ibumu. Aku tidak berbohong padamu, sekarang ada anugrahku kepadamu, semoga engkau memperoleh keberhasilan (kasidian), engkau berwujudkan semua yang bernafas, terserahlah kamu sekarang. Bila engkau ingin membunhnya, boleh bila kau ingin menghidupkan juga boleh, sebab engkau anakku, ini ibumu Bhatarì Uma Dewi”. Demikian sabda Bhatara Siwa.
Selanjutnya bersabdalah Bhatarì Uma: ”Duhai putraku, ada anugerahku padamu, mulai sekarang janganlah engkau mengembara, menyusuplah engkau di desa pakraman, di pura Dalemlah engkau tinggal, Durga sebagai namamu, pemberian ibumu yang bernama Bhatarì Uma, itulah sebabnya engkau menjadi Bhatara Durga. Bhatara Siwa ini adalah ayahmu, yang menganurahkan kamu nama Hyang Kala, pada waktu taringmu dipotong. Demikianlah namamu, engkau menjadi dewanya kelompok Kala, Durga, Pasica, Wil, Danuja, Kingkara, raksasa dan segala macam penyakit, hama, serta segala macam bisa (racun), dan segala kekuatan gaib, di desa engkau dibenarkan untuk memakan segala makananmu itu. Adapun pada saat aku berada di pura Dalem maka menjadilah aku Bhatarì Uma Dewi, karena akulah yang menganugrahkanmu. Olah karenanya aku bernama Bhatarì Durga Dewi. Engkau berada di pinggrinya, sebagai namamu Kalika. Bila engkau berada di Bale-Agung engkau bernama Jutisrana. Semoga engkau menemukan keberhasilan dalam pikiranmu.
Berkatalah Sang Durga: ”Hormat Bhatarì, apa yang menjadi makanan anak Bhatarì”. ”Nah ini sebagai makananmu yaitu: kalau ada orang yang tidur sampai sore dan tidak pada waktunya yaitu setelah matahari terbenam, dan anak kecil menangis pada waktu malam ditakuti-takuti oleh ayah-ibunya dengan kata-kata, nah nah amah ne amah (Ya makan, ni makan). Dan lagi kalau ada orang membaca kidung, kekawin, tutur yang uttama di tengah di tengah jalan, itu yang menjadi makananmu. Kalau ada orang yang mengadakan pertemuan untuk perkumpulannya di jalan, itu juga boleh kamu memakannya. Dan lagi kalau ada orang yang mengetahui prihal pemujaan kepadamu, wajarlah bila kamu memberikannya anugerah, segala permintaannya patut engkau berikan bersama rakyatmu semuan, sebab itu saudaramu yang sesungguhnya. Ia yang disebut manusia yang sejati. manusa Jati dapat berbuar dengan Dewa, Bhatara, Hyang, karena itu semua adalah satu, ia adalah manusia, ia adalah dewa, ia adalah Bhuta. Bhuta adalah ia, dewa adalah ia, manusia adalah ia.
Demikianlah essensi yang sebenarnya Sang Hyang Panca Maha Bhuta sebutanmu yang lain. Sang Hyang artinya, yang memerintahkan. Panca artinya lima. Bhuta artinya segala yang beracun dan memakan daging, diantaranya: Kala, Bhuta, Durga, Pisaca, Kingkara. Itu semua berperwujudan penyakit, hama dan wabah, ilmu, dan ilmu sihir. Itu semua rakyatmu yang bisa kau perintahkan untuk beruat baik dan buruk. Oleh karena semuanya sama-sama pandai dan sakit, karena kelahirannya dari sepuluh indria dewata pada waktu keangkara beliau nikmati bersama saktinya (istrinya).
Semuanya itu memenuhi dunia termasuk sorga, sapta loka (tujuh dunia di atas), sapta patala (tujuh dunia di bawah), semuanya dipenuhi oleh bermacam-macam kala, Bhuta, Durga dan segala jenisnya dengan wujud (rupa) yang berbeda-beda yang semuanya amat berani dan sakti. Kesemuanya itu mencari makanan pada manusia yaitu pada semua manusia, binatang, pada mereka yang tingkah lakunya tidak sesuai dengan penjelmaannya. Akan tetapi kalau ada orang yang tahu akan hal itu, yang sesuai dengan ucapanku yang dahulu, patut engkau sertai segala perbuatannya, bila berbuat kebaikan maka turutlah engkau dalam kebaikan, oleh karena Sang Hyang Dharma menjelma pada mereka yang tidak ternoda bagaikan air kehidupan bagaikan lidahnya api. Demikianlah perwujudannya (perbawanya) bagaikan angina linus kekuatannya yang ke luar dari bulu-bulu badanya. Itu yang menyebabkan beliau disembah oleh semua yang galak, semua yang seram, segala yang beracun, segala angkara, dan semua leyak, engkau juga dapat membuat mereka berhasil. Demikian perkataan beliau Sang Hyang Giriputri. Selesai beliau memberikan anugerah pada putera beliau Bhatara Kala.
Kemudian beliau berganti nama, bernama beliau Bhatarì Durga, sebagai anugerah Bhatarì (Uma) yang distanakan di Dalem, Sang Hyang Panca Maha Bhuta sebutan beliau yang lain (Sang Hyang Kala), oleh karena beliau menjadi dewanya segala yang dasyat, beliau dimulaikan di Desa yaitu di Bale Agung. Demikianlah sabda Bhatara Siwa, dan lagi: ”Aum putraku Sang Hyang Kala, engkau patut tinggal di desa, engkau mengusai desa adat, engkau boleh mengambil jiwanya manusia maupun binatang setiap tahun pada waktu sasih Kesanga (Maret). Terutama menghukum orang yang berdosa, jahat, bersenggama tidak sesuai dengan sila-krama, dharma sesana, dan agamanya. Demikian pula engkau dapat menyebarkan penyakit kusta, hama dan penyakit binatang yang tidak dapat diobati, dan di desa adat yang tertimpa alamat buruk, sebagai hukuman dari sang Hyang Siwa Raditya, pada bumi yang telah terkena cemar. Itu yang menjadi santapanmu bersama dengan seluruh rakyat kala-mu, Sang Hyang Kala Mretyu sebutannya. Oleh karena engkau Bhuta Rajapati yang dalam keadaan marah, Sang Hyang Yama Raja sebutanmu yang lain. Apabila ada raja memohon belas kasihan dewata, memohon keselamatan negara dengan seluruh rakyat yang ada di wilayah kerajaannya, maka agar segeralah ia menebus jiwa padamu dan semua dewata dengan upakara sesajen. Karena itu orang harus mengetahui rincian tentang yajna. Diantaranya: manusa Yajna, Bhuta Yajna, Resi Yajna, Dewa Yajna, Pitra Yajna, Siwa Yajna, Aswameda Yajna. Itulah tujuh Yajna namanya, yang dapat mengahantarkan pada kesentosan badan dan seluruh bhumi sampai ke sorga, oleh karena dapat menghantarkan pada kesejahteraan dunia.
Kalau itu telah dilaksanakan, maka engkau putraku dan seluruh rakyat kalamu kembali dalam wujudmu yang lemah lembut, lenyap segala keangkaraanmu demikianlah hukumanmu, engkau akan menerima ruwatan dan pendeta Siwa-budha, sehingga dapat menghilangkan kebencian yang melekat pada badanmu. Yang menyebabkan engkau menjadi dewa-dewi. Engkau akan dapat bersama-sama dengan ayah-ibumu menikmati alam sorga.
Setelah itu berkatalah Sang Hyang Kala, sabda beliau: ”Mohon ampun Oh Siwa, hamba sujud pada Mu, putra Bhatara tidak menolak akan segala anugrah Hyang Bhatara. Ada lagi pertanyaan hamba kehadapan Bhatara. Bagaimana perlindungan masing-masing yajna itu? Bagaimana susunannya? Jelaskanlah hamba sekarang.
Sabda Bhatara (Siwa): ”Janganlah engkau ragu, sekarang akan kujelaskan padamu. Perhatikanlah penjelasanku mengenai yajna itu”. Yajna adalah sebagai penebusan hukuman kepada Tuhan dari orang yang berdosa, sebagai pembeli jiwa pada kehidupannya masing-masing. manusa Yajna bermanfaat untuk menjadikan kokohnya negara dan kekalnya sang pemimpin yang mengusai negara. Tatacara yajna adalah dengan membagi-bagikan dana kesenangan, segala yang mulai seperti isi kerajaan, disertai persembahan hidangan dan umbi-umbian dan buah-buahan, sebagai saksi Sang Hyang Siwaditya, yang dipuja oleh sang pendeta yang mempunyai pengetahuan sempurna, seorang raja dapat melaksanakan/menyelenggarakan yajna yang demikian. Dan lagi pada waktu orang memuja dewa di tempat pemujaan sang catur warna (empat golongan masyarakat di Bali) sebagai hulu desa adat. Yajna yang demikian dapat dilaksanakan. Lain daripada itu tidak boleh, walaupun di pura Dangka? Dan pura leluhur untuk golongan sudra (paibon) tidak boleh medana-dana. Kalau ada yang melanggar, itu boleh menjadi santapanmu, hukum orang yang demikian, suruh rakyat kalamu untuk memakan dan minum darahnya, dagingnya. Demikianlah sepatutnya.
Adapun Bhuta Yajna itu adalah tawur. Beragam bentuknya, besar-kecil tawur bentuknya itu juga Bhuta yajna namanya. Itu menjadi santapanmu bersama dengan rakyat kalamu semua, oleh karena tawur sebagai korban orang yang menyelanggarakan caru, sebagai pembbeas hukuman orang yang berdosa ataupun (orang yang memperoleh) pertanda buruk, mala petaka, dan isyarat yang kurang baik, (tawur) itu dapat menghlangkan hukuman yang besar dan kecil, karena itu patut diikuti.
Adapun perinciannya masing-masing adalah demikian. Kalau Panca Sata sebagai bentuk tawurnya (kekuatan) perlindungannya selama satu tumpek (35 hari). Kalau Panca Klud sebagai tawurnya enam bulan (kekuatan) perlindungannya. Kalau Resi Gana Alit sebagai tawurnya enam bulan (kekuatan) perlindungannya. Kalau Resi Gana Agung bentuk tawurnya (kekuatan) perlindungannya enam tahun. Kalau Panca Sanak Alit bentuk tawurnya (kekuatan) perlindungannya setahun tiga bulan. Kalau Panca Sanak Agung bentuk tawurnya (kekuatan) perlindungannya lima tahun lima bulan. Kalau Tawur Agung bentuk tawurnya (kekuatan) perlindungannya sembilan tahun. Kalau Tawur Gentuh bentuk tawurnya (kekuatan) perlindungannya sepuluh tahun. Kalau Panca Wali Krama bentuk tawurnya (kekuatan) perlindungannya dua belas tahun enam bulan. Kalau Amalik Sumpah bentuk tawurnya (kekuatan) perlindungannya delapan tahun. Kalau Ekadasa Rudra bentuk tawurnya (kekuatan) perlindungannya sebelas tahun. Kalau Arebhu Bhumi bentuk tawurnya (kekuatan) perlindungannya seumur manusia perlindungannya. Demikianlah perlindungan masing-masing tawur, ketahuilah.
Kalau Resi Yajna itu adalah mempersembahkan makanan kepada para maharesi yang disertai dengan kain dan kampuh, mas, perak, permata mulia. Besar kecil punia (pemberian) itu Resi Yajna juga namanya, disertai dengan pikiran yanh suci dan tidak ada rasa terikat akan miliknya, karena Resi Yajna akan melenyapkan segala dosa dan kemalangan orang yang beryajna sampai dengan lima bentuk kesengsaraan leluhurnya. Demikianlah pahalanya. Oleh karena telah disucikan oleh para resi seluruhnya.
Adapun Pitra Yajna adalah sesajen (saji) kepada Sang Dewa Pitara (leluhur). Lebih-lebih menyelenggarakan Sawa Prateka, menebus atma orang yang meninggal pada Sang Hyang Yama Dipati dan pada kelompok Kingkara Bhuta, yang menghukum atma dengan lima bentuk penyengsaraan. Demikian upacara terhadap jenasah, memberikan sang dewa Pitara (leluhur) untuk menikmati sorga, oleh karena ada dosanya pada waktu masih hidup di dunia, makanya sekarang menerima penderitaan di neraka dihukum oleh Sang Hyang Yama Dipati, dihukum oleh para Kingkara Bhuta. Itu yang menyebabkan patut ditebus dengan suatu upacara sesuai dengan tatacara memuja Pitra (roh leluhur) dengan Pitra Yajna sebagai sarana agar sang atma dapat kembali kea lam sorga.
Dewa Yajna yaitu memberikan persembahan kepada Dewa pada hari yang baik dengan mendirikan sanggar parhyangan sebagai tempat pemujaan, membuat patung perwujudan dewa dan leluhur yang telah ”didewatakan”, membuat inimyan-imyan untuk disembah dan sebagai pesembahan kepada Tuhan. Dengan pikiran yang suci dibuatlah pancangra untuk keperluan bersama dan peletan (tempat peristirahatan?). itulah Dewa Yajna sebagai penghapus papa penderitaan, baik yang dibawa sejak lahir maupun kemalangannya dalam hidup di dunia ini. Besar-kecil upacara itu juga Dewa Yajna namanya, yang menyebabkan langgengnya (kekalnya) sang hyang at,a dan jiwannya seluruh alam, oleh karena langgengnya yoga para dewata menyebabkan bertambahnya kebaikan dunia ini. Demikian, ingatkanlah.
Adapun manfaat dari Siwa Yajna, karena Yajna itu ditujukan untuk sang hyang Siwapati yang dilaksanakan oleh orang yang setia kepada guru. Hal itu akan menghilangkan papa dan penderitaan, serta menyebabkan leburnya kebencian dalam diri.
Bagaimanakan wujud bhaktinya kehadapan guru itu, merupakan penyebab keberhasilan persembahannya itu? Yaitu ketika sang guru masih hidup dipersembahkan makanan berupa umbi-umbian, buah-buahan serta segala sesuatu yang dapat dipersembahkan kepada guru yang disertai dengan pikiran yang suci, setia dalam tindakan, berbudi luhur. Pada waktu kematian sang guru, ia bisa melaksanakan upacara penyucian dan menghantarkan atma sang guru ke alam kelepasan dengan menyelenggarakan seluruh upakara Pitra Yajna. Sehingga atma dapat kembali ke alam sorga bersatu dengan para dewata. Itu semua akibat bhaktinya seorang siswa. Demikian, ingatlah.
Guna dari Aswameda Yajna, ketahuilah olehmu anaku, adalah yajna untuk membebaskan seisi dunia, menghilangkan segala kekotoran di dunia, terutama segala dosa, segala yang menyeramkan, segala yang gaib, segala yang buas, segala penyakit tanaman, karena semuanya tersucikan oleh yajna itu, apakah itu binatang, mahluk hidup, manusia, sampai pada detya, danawa, raksasa, Bhuta, kala, dewa, dan Bhatara. Itu semua akan tersucikan dengan dibuatkan “homa”, sebagai stana Sang Hyang Agni yang menyala, membakar seluruh kekotoran di dunia.
Demikian yang dilaksanakan oleh orang yang bijaksana pada masa pemerintahan Aswayambhuwa. Manu mengharapkan kokohnya dunia. Demikian juga tatacara yang harus dilaksanakanbila ada negara/kerajaan yang tidak ada pemimpinnya atau meninggal, meskipun meninggalnya karena kena kutukan, sial, tanda-tanda buruk, beliau sang yajamana mengetahui hal itu, karena raja akan binasa oleh musuh, maka itu patutlah Bhatarì Umapati dipuja dengan menyelenggarakan Homa Aswameda Yajna serta pemujaan Sang Hyang Saraswati. Beliaulah yang dapat memulihkan kebaikan dunia termasuk juga sorga dan tempat suci kalau mengalami benacana. Dmeikianlah tata caranya, oleh karena sang Yajamana disebut catur asrama, asal dan kembalinya seluruh dunia. Beliau adalah perwujudan Sang Hyang Catur Weda.
Catur Weda itu sebagai jiwanya dunia yang disebut Sang Hyang Jagat Kantar, beliau adalah sumber segalanya, beliau adalah tujuan saat lenyap, beliau adalah asal kelahiran, beliau bersifat besar dan kecil, beliau ada dan tiada, beliau adalah penyatuan dunia. Oleh karenannya semua pekerjaan tidak akan berhasil apabila tidak bersaranakan sang Hyang Catur Weda, oleh karena beliau adalah simul kesuksesan kerja. Lebih-lebih engkau anaku, sekarang kuberitahukan kamu dan tujuanmu sekarang, oleh karena kamu telah aku sucikan, maka tidak lagi engkau bernama Bhatara Kala, Sang Hyang Bhuta Raja namamu. Jangalah engkau tidak mengindahkan akan tujuan semua yajna yang dilaksanakan oleh manusia di dunia. Besar-kecil yajna yang dilaksanakan tidak akan berhasil lebih tidak bersaksikan Sang Hyang wedha Carana, sebab Sang Hyang Weda Carana adalah wujud dari yajna, bersama dengan Sang Hyang Siwa Aditya. Itulah sebabnya mendirikan sanggar tutuan apabila melaksanakan yajna dalam tingkatan menengah, sanggar tawang rong tiga apabila yajna dalam tingkatan utama.
Seajen yang patut dinaikan pada sanggar tutuan, hany ardhanareswari terdiri atas, suci 2, Siwa bahu, cucuk bahu, dewa-dewi, tidak menggunakan banten sor, hanya menggunakan guru bungkulan, daksina rongan.
Sesajen yang dinaikan pada sanggar surya sewana: catur mukti, daksina sarad, suci catur, gana alit mwang citra gotra, dewa-dewi, Siwabahu, cucukbahu, memakai banten sor, mapageyam, tatacaranya patut menggunakan tempat pijakan (tapakan) bawi plen disertai dengan ayam lima warna, Yama Raja Alit, dialasi tepung putih.
Kalau upakara yang dilaksanakan dalam tingkatan menengah, pada sanggar surya sewana boleh menggunakan “Catur Ebah” dan perlengkapan seperti di atas. Kalau dalam tingkatan rendad; sepatutnya memakai “Catus Sari” dengan perlengkapan suci 2, disertai dengan citra gotra. Demikian tatacaranya. Di bawah (sor); babangkit asoroh, dasarnya caru bawi plen, kalau tidak babi, dapat digunakan itik berbulu sikep dan patut disertai dengan ayam lima warna. Pada padudusan; babangkit asoroh memakai gayah utuh disertai dengan kelengkapan upakaranya sorohan, sesayut paideran lengkap. Di depan pemujaan; itik diolah 2 ekor, sebagai lampadan dijadikan 15 tanding (bagian).
Kalau mendirikan sanggar rong tiga, ketahuilah rincian sesajennya olehmu. Pada ruang (rong) bagian tengah: tumpeng 10, guling itik, 2, tumpeng guru 7, tumpeng catur 4, itik digoreng 1, dibuat seperti urip (winangun urip), itik lada 1, byu 4, sasamuhan 4, saraswati 2, pancaphala 2, sasamuhan catur 4, lingga 2, sekah dewa 2, lawe 2, jinah 450, kain putih 2 setel, saput empat warna uang 900, duma uang 50 pala 2, pupus i jenar 16, uang lingga 33, disertai kukumbu, kelapa singgat ditempatkan pada tamas, catur muka waidyagana serta kelengkapannya, Yama Raja, suci seperti yang dulu.
Pada ruang (rong) sanggar kanan dan kiri; tumpeng masing-masing 4, itik diguling lengkap masing-masing 2, lada masing-masing 2, sasamuhan masing-masing 2, saraswati masing-masing 2, pancapala 2, saput 1, uang 225, jebugaram 1, berisi duma 25, pupusi jenar 11, suci waidya masing-masing 2, dilengkapi dengan pras ajuman, daksina gede seperti biasanya. (banten) di depan pemujaan sama seperti di depan.
Caru di bawah (sora); babi diolah 1, diolah dijadikan sate dengan masing-masing galahan, tulangnya dibuat seperti hidup (winangan urip), babi guling 1, caciri guling babi betina yang masih muda 1, guling itik 1, babangkit 1, tadah 1, pras, benang satu gulung, uang 225, ayam dipanggang 12, uang taled babangkit 225, benang satu gulung, sega cacahan 11 tanding, ikannya gagempungan ditempatkan pada nyiru baru, uang untuk alasnya masing-masing 11, sayur sakawali, glar sangha, sega garuda, timbunan acatu ditempatkan pada nyiru baru, ditulis garuda. Ikannya sate 23.
Tatacara upacara Adudus Agung telah dijabarkan dalam Aji Tapahini, pelajarilah. Di situ telah dimuat rincian masing-masing yajna dan pada Plutuk, pada Putru Sangkara juga telah dijelaskan termasuk rincian Sawu Wedana, Asti Wedana, Atma Wedana, semuanya telah dimuat. Hal itu patut diketahui, janganlah sembarangan, karena sepetutnya juga engkau yang memiliki sebagai santapan, terutama dalam Rogha Sanghara Bhumi dan Prakempa (pada masa kekacuan dunia dan pergolakan dunia). Apabila penyuciannya tidak sesuai maka engkau dapat menghukum manusia di dunia, dengan mengajak prajurit kalamu, Sang Hyang Purusangkara namamu dan engkau boleh menciptakan pertanda buruk, yaitu isyarat buruk di bumi.
Apabila telah sampai pada akhir usainya bumi, sapai pada jaman Kala Yuga, Sang Hyang Kala Mretayu namamu. Pada masa Kreta Yuga Sang Hyang Mretyu Jiwa namamu.
Demikianlah caramu menjaga dunia, janganlah acuh.
Berkatalah Bhatara Kala kepada ibunya, “Yang Mulia Bhatarì, kalau ada orang kena penyakit, bagaimanakah upacaranya yang manjur (untuk menyembuhkan)? Mohon beritahukanlah putra Bhatarì”.
Bhatarì berkata: “Aum putraku Hyang Kala, kalau ada orang yang sakit panas luar biasa, ada obatnya”. Obatnya, bahanya; ;engkuas muda, bras yang direndam, sembur tulang ekornya. Apabila dalam tiga hari belum juga sembuh, (obatnya diganti) dengan bahan; daun sirih yang sudah tua, garam, diremas, disaring dengan kuat ditambahi klabet, sembur tulang punggungnya. Kalau tidak sembuh, maka jadilah panes maleman, badanya panas keras pagi sore, kalau panasnya hilang-datang lagi, itu disebut tiksna kapendem (tipes). Obatnya, bahanya; bligo arum, tem utis, bawang tambus, diparut semuanya, peras kemudian disaring, panaskan dengan kawali baja, lalu diminum, maka keluarlah panasnya. Kalau panasnya tidak keluar, badanya akan berkeringat, maka panasnya akan reda. Kalau tidak demikian, dan masih seperti dulu, akhirnya keluar darah seperti daging yang dicincang, maka mati jugalag akhirnya orang yang demikian.
Namun jika panas badanya datang (dapat diobati) dengan bahanya; lengkuas, gamongan, temu tid, diparut, diisi air beras sembur seluruh tubuhnya. Apabila panasnya setiap sore dan nafasnya melemah, jari-jari tangan dan kakinya dingin setiap sore, dari mulutnya keluar hawa panas, sebeha gantung orang yang demikian. Obatnya, bahanya; akar kutat kedis, akar kelapa mulung yang masih muda, akar kecemcem, lublub buhu, sinrong gagambiran, diisi kapur bubuk (air kapur yang bening), beningnya direbus dengan kuwali waja, setelah masak diminum.
Kalau badanya panas setiap sore, tenaganya lemas, nafas yang keluar dari hidung panas, sebaha orang yang demikian. Obatnya, bahanya; lublub (kulit air) buhu, lublub tingkih, ketan gajuh, gesokan air cendana, air jeruk, garam uku, lalu diminum.
Kalau bibirnya karing, nafas yang keluar dari hidung panas setiap sore, tangan dan kakinya dingin, sebaha jampi orang yang demikian. Obatnya, bahanya; air kesimbukan, air rendaman penyalin, damuh tlengisan, pijer cina lalu diminum. Itu yang disebut dengan satu panas menjadi banyak. Janganlah kau sembar orang yang panas demikian. Apabila panas yang demikian disembar terlebih dahulu patut di tapa-kan.
Kata Durga (Kala): ”Oh Yang Mulia Bhatarì, bagaimanakah tapa itu? Dimanakah tempat tapa itu?”. Sabda Bhatarì Durga: ”Begini tata caranya tapa. Kalau ada orang yang meminta padamu, janganlah engkau tidak meberi. Asal ada yang dimintanya, maka berikanlah ia. Itulah bertapa namanya”.
Adalagi orang yang menghaturkan persembahan padamu, janganlah engkau memilih persembahan, sebab persembahan itu perwujudan Sang Hyang Amerta, alangkah papanya tidak akan manjur jadinya. Apa diantaranya; bisa, tataban, carikan, lungsuran, paridan. Itu semua boleh engkau menyantapnya.
Kata Sang Durga (Kala) ”Oh Yang Mulia Bhatarì, alangkah cemarnya persembahan itu. Apabila lungsuran Sang Hyang Siwa Guru sangat senanglah putra Bhatarì, karena Sang Hyang Siwa Guru amat suci”.
Sabda Bhatarì: ”Baiklah apabila demikian caramu memandang, kalau ada orang wanita menginjakan kakinya di kuburan, tidak maukah engkau anaku? Adapun Sang Hyang Giri Putri amat suci dan amat cemar”. Apa yang menyebabkan demikian? Giri artinya gunung. Gunung artinya tanah. Putri artinya anak. Anak artinya terlahir. Lahir artinya sila. Sila artinya batu. Kalau ada orang yang tinggal di gunung, maka di gunung juga tempatnya melahirkan anak-anaknya dan di gunung juga tempatnya melakukan senggama”. Demikianlah sabda Bhatarì Durga.
Lagi yang perlu diketahui mengenai Bhatara Rama Wijaya. Bha artinya asal. Ta artinya lahir. Ra artinya memenuhi dunia. Rama artinya Bapak. Wija artinya Anak. Yama artinya ibu. I Bapa artinya mulut. Anak artinya Jihwa. Jihwa artinya lidah. Yam artinya Ibu pahledan. Itu nama Batara dalam badan. Itu yang disebut Sang hyang Titah, beliau asal yang memberikan perintah, yang memerintahkan semuanya. Siwa artinya siwi. Siwi artinya junjung (meletakan di atas kepala). Itu artinya Siwadwara artinya ubun-ubun.
Dari mana ia akan keluar apabila tidak ada jalan keluar dalam badan (sama halnya dengan) manusia tanpa badan. Kalau di dalam badan bagaimanakah baunya? Harum dan menyegat. Kalau orang yang meningga; juga tidak berkata, sebenarnya Siwa-Buddha adalah dewa yang sebenarnya yang berasal dari soga. Karenanya pada saat pujawali dewa dibuatkan Widhi-widhana, memohon air suci dari Sang Siwa Buddha adalah Dewa sebagai penyukses pelaksanaan dewa yajna, demikian juga pada orang yang meninggal. Dibuatkan widhi-widhana, disucikan oleh brahmana Siwa-Buddha, sebagai phalanya kembalinya Sang atma ke sorga. Kalau ada orang yang tidak menggunakan tirtha Sang Siwa-Buddha, selamanya tidak akan menemukan sorganya, karena orang itu tidak disucikan oleh Siwa-Buddha, wajar menemukan lima macam kesengsaraan sama seperti atma orang yang mendapat kutukan, tidak akan menjelma menjadi manusai lagi, akan tenggelam di dalam kawah (neraka).
Lagi padahal bahisa yang artinya bijaksana. Carikan artinya segala yang sudah selesai, diantaranya; sapi disebut sisa makan dari bajak, sisa dari peralatan. Tanah disebut sisa dari bajak. Padi, jagung, ketela sisa dari kerbau, sapi. Bras, oran, cacah, sisa dari peralatan buatan pande?
Tataban artinya segala yang terinjak, diambil. Paridan artinya, segala yang dibwa. Ayaban artinya segala yang dipilih. Lungsur artinya tua, basi itu sesungguhnya adalah lungsur.
Perintah Weda. Ong artinya manusia. Toyam artinya air. Air artinya gangga. Satam artinya seperti. Candam artinya wangi. Puspam artinya bunga. Samara payam artinya tampak sekilas. Nagni rah artinya darah yaitu api. Gni artinya tempat. Itulah yang berujud api. Netra bang artinya mata merah artinya surya candra. Itu yang disebut Rwa-Bhineda. Rwa artinya dua. Da artinya menjadi. Tidak ada dewa di alam semesta tetapi dalam juga tempatnya.
Jantungmu Bhatara Iswara namanya. Paru-paru Bhatara sangkara. Hati Bhatara Brahma. Usus Bhatara Ludra. Buah pelir Bhatara Mahadewa. Limpa Bhatara Mahesora, Sangkara. Nyali Bhatara Wisnu. Sekat rongga badan Bhatara Sambhu. Tutud dan lainya adalah Bhatara Siwa. Demikianlah sabda Bhatarì.
Lagi berkata Sang Durga (Kala): ”Oh Yang Mulia Bhatarì, bagaimanakah terjadinya orang yang terkena batuk yang tak henti-hentinya?”.
Sabda Bhatarì: ”Beginilah terjadinya, dahulu ketika masih sehat ia batal kentut. Setelah lewat 15 hari ia tidak tahu asal muasal sakitnya yang demikian, mati juga orang yang demikian tidak dapat diobati, itu jadinya batuk yang tidak henti-hentinya sampai-sampai seperti mau mati. Setelah itu suaranya serak keluar seperti dahak, disebut jampi maling. Tetapi kalau masih dalam waktu 12 hari, orang itu dapat sembuh. Ini obatnya. Bahanya; kulit belimbing besi juga kulit akarnya dibakar, kunir, warangan dibakar, asam dipanggang. Dicampur dengan pulasi, bawang dibakar, air beras ketan gajih lalu diminum.
Kalau terasa kena jampi upas. Bahanya daun gendola putih, temu tis. Dicampur dengan bawang adas sembur lambunya keliling. Untuk diminum, bahanya; sembung wangke, jaum-jaum putih. Dicampur pulasi dan bawang adas.
Kalau ada orang persin pelan-pelan kemudian berkali-kali bahkan hampir-hampir mati. Akhirnya kronis yang menyebabkan batal persin, kronis jadinya. Obatnya, bahanya; jeruk purut, lengkuas kapur, temutis, kencur, kunir terus dibungkus dibuat seperti tum. Setelah matang diperas, disaring dicampur dengan asam cuka tahunan, dan air gosokan cendana. Dicampur dengan kemenyan, kumukus, pulasai, lalu diminum. Membuat obat itu pada hari Kajeng Kliwon. Kalau tidak Kliwon, Kajeng saja boleh. Sebagai bedaknya daun beringin yang jatuh, kencur dipanggang, pulasi dan alas.
Apabila ada orang yang mencari tukang (dukun), diperhatikanlah orang tersebut dengan cermat kakinya pada waktu baru naik pada lantai rumah (bebaturan). Kalau kaki kanannya naik duluan, maka ciri-ciri si sakit adalah bubuk badanya yang sakit, lesu, hulu hatinya terasa sakit, pusing, demikian sakitnya. Obatnya bahan; Kasisat putih, siledaka, maswi, pulasai, diminum. Sebagai bedaknya; daun kendal, kencur, cendana, dicampur pulasai.
Kalau kai kirnya naik duluan, sang sakit sakitnya pada hulu hati, pimggangnya sakit, lesu, pusing, dan bila sakitnya lewat sepuluh hari, tidak ada orang yang bisa mengobati, mati juga orang yang demikian. Seperti apa penyakitnya yang menyebabkan kematiannya? Keluar darah dari ketiak, dari rambut, dari dubur, dari lubang bulu, itu tidak bisa ditolong, bayu kasuduk namanya. Obatnya; bahanya: temu poh, temu akar, lengkuas. Dicampur, cengkeh, phala kurung, sampar wantu, santen dari kelapa mulung direbus sampai kental, pipis terlebih dahulu. Setelah matang dijadikan bulatan (pil), ditelan setiap hari, uang 77, lengkap dengan upakara sesantun. Mantranya ”Bena putih katemu tulung, pangetas ptpah iku bulisah”. Cranya mlapalkan mantra dengan menahan nafas. Sebagai bedaknya: lengkuas yang dibakar, dicampur kemiri dipanggang, isinya dihaluskan, diisi daun tunggal.
Adalagi tanda-tanda orang yang mencari tukang (dukun) pandanglah matanya, bila matanya kelihatan merah, tanganya meraba-raba, orang yng sakit kepalanya sakit, perutnya sakit, kakinya sakit, kena racun berkualitas tinggi (wara guna), kelamaan mati orang tersebut. Bagaimana jalan kematiannya? Mengapa bersendawa, gemetar, keluar keringat tidak henti-henti. Setelah itu mendelik matanya, mengeluarkan suara mendengung, kalau sadar ia akan kambuh seperti semula. Obatnya; bahanya: ibunya temu, lubangi isinya kemudian masukan kemenyan, air arak seharga 2 kepeng, kemudian dibungkus dan ditambus (dibakar). Setelah matang dicincang sampai halus, peras, saring, beningnya diisi klabet, jintan hitam, tetesi hidungnya. Untuk diminum; bahanya daun bengkel putih, tmutis, kacang ijo, dilumatkan, peras, saring, panasi dicampur dengan putih telur. Setelah matang diisi air jeruk purut, lagi dipanaskan dengan kwali baja.
Setelah matang lagi dirajah. Campurkan dengan cengkeh yang masih tutup buanganya, dihaluskan, gula sari, merica, air jeruk. Setelah dicampur lagi dipanaskan secukupnya dnegan menggunakan tempurung kelapa (dasar).
Ini rerajahan pada tempurung kelapa (dasar) NDE YUNG MUNG.
Setelah dipanaskan diisi dengan air ketan gajih, lalu diminum, pahalanya segala penyakit yang ada dalam perut sembuh dengan obat itu. Obat ini tidak memilih penyakit. Membuat obat sebaiknya pada hari Jumat Kliwon Kajeng walaupun tidak Kliwon, asal ketemu Kajeng boleh juga. Dan sebagai bedaknya bahanya: gamongan, cendana, air anakan, air jeruk ditempatkan pada limas yang terbuat dari daun andong. Setelah ditempatkan rajah burat (bedak)? Itu. Ini rerajahannya:.............Phahalanya, kalau terasa lupa dan tidak bertulang akan sehat dengan obat itu.
Lagi perhatikanlah ciri penyakit orang yang sakit yang tidak kelihatan, dengan cara memperhatikan orang yang mencari tukang (dukun), cirinya dapat diperhatikan dari matanya dari suaranya. Kalau kelihatan putih matanya kelihatan kekuning-kuningan, bulunya kejur, suaranya berat sekali, apa sakitnya; sesak hatinya, terangah-engah dadanya banyu mala namanya. Lagi bergolak di dalam hatinya, tetapi kalau sampai tujuh hari penyakit itu kalau tidak bisa mengobati mati akibatnya. Kalau tidak mati gila orang tersebut. Obatnya; nahan, akar slagwi, lanang, kencur, sembung, haluskan, peras, saring direbus dengan kwali waja. Ini rerajahan pada kwali......... setelah direbus tuangkan minyak kelapa, campurkan dengan wangkawa, mundar parawos, lalu diminum. Setelah selesai diminum, berikan minuman nira satu dasar (tempat minum dari batok kelapa). Sebagai bedaknya, temutis, gamongan, bunga sandat, bunga belimbing, air tuak manis, panaskan sampai matang. Kalau mandi jangan memakai air panas, air mati namanya.
Apabila pada mata orang yang mencari tukang (dukun) kelihatan kekuningan-kuningan, bicaranya cabul bercampur guyon, dan si dukun mengeluarkan nafas dari kedua lubang hidungnya. Kalau nafas yang keluar dari hidung kanan lebih deras dan kencang, berat penyakitnya bahkan hampir-hampir mati. Penyakit orang yang dicarikan dukun adalah lelah, puyeng, sekujur tubuhnya panas sekali dan gelisah, terasa tidak memiliki badan, ototnya terasa sakit seperti kering. Kalau sampai enam hari sekitnya kalau tidak ada orang yang mampu mengobati, matilah akibatnya, muntah darah tidak putus-putusnya. Demikian jalan kematiannya. Obatnya, nahanya; daun pancasona yang sudah kuning, asam tanek, dicampur dengan bawang tambus lalu diminum. Bedaknya janganlah dimandikan, sebab akan mengakibatkan meninggalnya, sebaiknya dibuatkan pengulapan? (penawutan). Bahanya; air lempuyang, air baras, air gosokan cendana, biji jalawe. Bahannya yang lain; lempuyang tiga iris, air cuka panaskan secukupnya.
Apabila berbuah-buah badan orang yang mencari dukun dua datangnya sangat cepat, jalan nafasmu (dukun) di hidung. Kalau sama derasnya, (itu tandanya) bahwa orang yang dicarikan dukun sakit setiap dua hari, hulu hatinya yang sakit memat, sering berludah, perutnya buncit. Obatnya; bahanya, sulasih, myana cemeng, kasimbukan putih cakcak, pres saring. Dicampur phala, bunga sengkeh yang masih kuncup. Sembur hulu hatinya, nahanya; daun sirih yang sudah tua, kencur, lengkuasm kunir tiga iris. Bedaknya, sirih yang bertemu uratnya, kencur dibakar separo, asam yang dipanggang, sampar wantu dibakar, pulasai, air gosokan cendana, air keruk. Mantranya: ”Ah Sardang sarira mati kukus ules kukus kaulesan”.
Ini yang disebut Puspa Kalimosadha. Ketahuilah penyakit seseorang, pada badanya melalui ciri-ciri yang tampak pada badanya. Tetapi kalau memakai ilmu ini agar di tapakan terliebih dahulu. Apabila telah berhasil mengusai, maka phalanya bila ada orang yang mencari dukun perhatikanlah badanya akan kamu ketahui penyakit orang tersebut, apakah ia akan mati atau hidup akan terasa melalui badannya. Apabila akan hidup, maka datanglah orang yang sakit membawa daun beringin meminta agar diobati. Apabila akan meninggal akan datang orang membawa mayat dalam mimpi juga dalam samadhi.
Lagi apabila ada orang mencari dukun pagi-pagi sekali pada saat si dukun masih tidur, yang mencari orang laki-laki, maka yang sakit adalah perempuan awal sakitnya adalah panas dan sudah dicarikan dukun serta sudah dapat disembur panas itu, akhirnya panas masuk ke dalam. Lama-lama penyakitnya sering dicarikan (berganti) dukun, akhirnya ke luar darah dari duburnya menyerupai daging cincang untuk lawar. Setelah itu perutnya kembung tidak bisa berak tisak bisa kencing, lehernya (tenggorakannya) bengkak sehingga tidak bisa menelan, demikian pula pahanya yang di kiri bengkak. Demikianlah penyakitnya. Meninggal juga orang yang demikian. Obatnya, bahan; baligo arum, temu tis, bawang tambus, semuanya diparut peras saring panaskan dengan kwali baja, kemudian minumkan.
Ini obat untuk segala panas dalam.
Apabila bengkak pada salah satu bagian tubuhnya, (obati dengan) nahan; daun kakrepetan, bawang adas, pucuk daun andong yang masih muda, kemudian oleskan pada bgian yang bengkak (setelah dilumatkan terlebih dahulu).
Apabila perutnya kembung (bengka) tidak bisa kencing, tidak bisa berak (obati dengan) bahan: kulit pohon dadap, bawang adas, sembur perutnya. Lagi bahannya: pucuk pandan yang masih muda, pucuk nenas yang masih muda, pucuk andong yang masih muda, pucuk nira yang masih muda, bawang adas, sembur di bawah duburnya.
Lagi bila ada orang mencari dukun adalah seorang laki-laki, saat malam hari ketika si dukun sudah tidur, yang bersangkutan dengan kata tergesa-gesa (sengap). Bagaimana sakitnya? Yang sakit adalah orang laki. Badanya panas karena disembur. Setelah disembur panasnya lalu masuk ke dalam (apabila) kumat badanya panas luar biasa. Setelah itu mengeluarkan darah seperti daging yang cincang. Setelah itu akan kejang sekali dan ingat pada dirinya serta nafasnya ”kredek-kredek” (seperti nafas kucing), dan keluar keringat di sekujur tubuh. Demikianlah jadinya, peras dan saring, panaskan dengan kuali baja. Apabila panas seperti sebelumnya, maka sehatlah orang yang demikian.
Inilah tanda-tanda orang yang hamil. Apabila otot pada putih matanya bercahaya kekuning-kuingan, ujung rambutnya samara-samar kelihatan kehijau-hijauan. Lagi perhatikan orang-orang pada matanya (?) di depan, apabila kelihatan seperti bergerak-gerah (padrutdut) di tempatnya, apabila anaknya lahir kemudian samadigalar. Meninggal jabang bayi itu. Apabila jabang bayi tidak meninggal, maka ibunya yang meninggal. (sebabnya) ketika baru ngidam kena wisya taruna yaitu nafasnta tersendat-sendat (cekutan) di tempat tidur. Tetapi jika ingin hidup bisa juga. Obat, bahan; daun jeruk, limau, daun sirih yang kuning, semuanya dilumatkan, peras dan saring. Dicampur lunak tanek, ketumbar, klabet, dasun jerangan, panaskan sampai matang. Setelah matang air dengan cuka tahunan, air jeruk, minyak kelapa, minumkan.
Lagi tanda-tanda orang hamil, apabila kulit putih matanya kelihatan rada keputih-putihan, kakinya seperti biri-biri dan rada kekuning-kuningan. Lagi perhatikan tidurnya apabila terdengar nafasnya (seperti mengeluarkan) suara keras dan cepat, itu (tanda) si hmil akan meninggal.
Bagaimana tanda-tandanya? Lemah selalu dan kuat tidurnya. Keinginannya untuk makan hanyan kadang-kadang. Setelah bayinya lahir, seketika sekujur tubuh (ibunya) biri-biri, itulah yang disebut kena moyo banyu. Apabila dimadikan maka meninggallah ia setelah melahirkan. Apabila ada orang demikian janganlah mengobatinya karena akan meninggal juga orang itu.
Sabda Bhatarì (Durga Dewi): ”Nah inilah intisarinya, ketahuilah ajaran uttama yaitu Canting Mas dan Siwer Mas, manfaat ajaran ini sangat utama. Setiap orang yang menggunakan akan memperoleh keberuntungan dan kerahayuan (keselamatan). Semoga mendapat kesenangan dan tidak menderita sakit, selutuhnya akan disucikan oleh ajaran ini. Mantra ii sangat utama manfaatnya, yaitu:
Ada yang disebut Wre-astram itu menjadi wangsita (tanda-tanda). Ada modre, itu menjadi kamoksan. Ada swalalita menjadi mantra. Demikianlah perinciannya. Karenanya semula ada 20 huruf banyaknya semua, kesemuannya bertemu dengan Na. Na bertemu dengan Ca. Ca bertemu dengan Ra. Ra bertemu dengan Ka. Ka bertemu dengan Da.
Na bertemu dengan Ya. Ca bertemu dengan Ja. Ra dengan Pa. Ka dengan Nga. Da dengan Ba. Ta dengan Ga. Sa dengan Ma. Wa dengan La. Lengkaplak pertemuan Wre-astra itu. Modre bertemu dengan Swallalita. Itulah yang disebut dengan pertemuan yang sangat halus saramoksa kamoksan dengan mantra. Itulah yang disebut prihal dasa-bayu, yang bunyinya: Ih A Ka Sa Ma Ra La Wa Ya Ung.
Ini yang menjadi dasaksara (sepuluh huruf) yang bunyinya: Sa Ba Ta A I Na Ma Si Wa Ya, dibagi menjadi Pnaca Brahma dan kemudian diringkas. Inilah (Panca Brahma): Sa Ba Ta A I, sa kembali pada Ba. Ta kembali pada A. Ya kembali pada I, menjadi Tri Aksara A U Ma yaitu Tri Aksara yang ada di dalam (kemudian) ditolong oleh angsa....... karenannya bisa bersuara Ang Ung Mang. Sesungguhnya (AUM) perwujudan bintang bulan matahari. (sedangkan) Tri aksara yang di luar (Ang Ung Mang) adalah perwujudan api, air dan udara.
Ang bertempat di hati menjadi api. Ung bertempat pada empedu menjadi air. Mang kembali pada windu. Windu kembali pada sunya (sepi). Sunya kembali pada angkasa. Itulah tempatnya amerta.
Ang Ah itu adalah Rwa-hineda, di sutilah ke luar masuknya, pada pangkal hati menjadi angin (bayu) yang melintang naik turun melalui kedua lubang hidung. Sebabnya disebut Rwa-Bhineda, oleh karena udara (yang diisap melalui lubang) hidung kanan terus ke dubur, jalanya nasi dan lauk pauk udara (yang diisap melalui) hidung kiri terus ke vagina atau penis tempat jalannya air. Demikianlah Rwa-Bhineda ajaran yang utama.
Dan Ang menjadi Ongkara Ngedeg (aksara Ong yang berdiri) di dada. Dan Ah menjadi Ongkara Sungsang (Aksara yang terbaik) di dahi. Ongkara Ngedeg arda candranya pada tulang lengan, windunya pada sekungnya gahu, dan nadanya pada lidah. Ongkara Sungsang di dahi, arda candranya pada alit windunya di anatara alis, nadanya pada ujung hidung. Itulah pertemuan, ujungnya lidah dengan ujungnya hidung kamu seperti mengadu ujungnya duri, apabila berhasil dipertemukan, maka akan berhasik ditemukan kemanjuran mantra itu olehmu. Itulah dasar dari segala cara melakukan ilmu hitam.
Apabila (hal itu) telah dapat dilakukan dengan baik maka akan manjur jadinya. Apabila tidak demikian maka kamu akan jarang menemukan kemanjurannya. Tak ubahnya pohon yang tanpa akar.
Apabila ingin membuat penawar yang manjur, pusatjanlah ini dalam pikiran, rasakan apa yang ada pada tulang ekor, tiup dari pusat, karena ia adalah api yang ditimbun dengan sekam (agni tabunan). Api yang ada pada jantung gunakan untuk meniupnya, pikirkan menyala mengikuti ujung Ongkara Ngadeg yang ada pada dada. Arda candra yang ada pada tulang leher berwujud api menyala mengikuti windu yang ada pada cegkungan leher, ia adalah perwujudan sibuh (bejana tempurung kelapa) berisi air. Lidah itu adalah nada yang merupakan perwujudan air yang diliputi oleh api.
Apabila sudah demikian pemusatannya maka akan keluarlah asap dari air penawar yang terdapat dalam sibuh, pahalanya manjur. Tetapi janganlah goyah pemusatan pikiranmu. Tutuplah ketujuh lubang yang ada di bawah dan di atas. Maka badanmu akan terasa panas dan nadamu yang ada di dalam akan bersuara seperti akan sauara genta sayup-sayup. Itu sebagai pertanda bahwa Sang Hyang Mantra manjur adanya yang bagaikan suara halilintar (dan) manusia singa, batin merupakan perwujudan manjur juga adanya.
Ongkara Batuk (Ongkara Sungsang yang ada di dahi), arda candranya ada pada alis, windunya ada pada antara alis, nadanya pada bintil hidung. Itulah jalanya amerta dari langit mengalir ke bawah, samapi ke ujung lidah (Jihwagra). Langit pada otak, (bentuknya) bulat dan warnanya putih seperti asap, itulah yang disebut langit dalam badanmu.
Amerta itu jatuh bagaikan hujan datangnya. Menghayutkan abunya penyakit dan racun yang seluruhnya telah terbakar oleh api terus menuju ke otot (simbul) sungai yaitu pada kaki terus menuju seluruh samudera. Setelah menyiram racun (kemudian) abunya dinaikkan sampai pada Muladara-Gni. Lagi rasakan seakan meledak dyun kundi maniknya yang berisi amerta pada sela-selanya otak. Windu Ongkara Sungsang berada pada tulang kepala. Itu lagi yang membanjiri api racunnya, lagi mengalir itu akan menjadikan manjur penawar api nyata itu.
Apabila kena penyakit, kena bisa akan dapat ditawarkan, meskipun orang yang meninggal tetapi masih muda usianya akan dapat dihidupkan juga olehnya. Tetapi jika ia sudah berusia tua, maka ia akan meninggal juga. Semoga bertuah, janganlah diberikan pada orang lain, sangat utama, ia adalah sastra yang penghabisan. Inilah gagelaran (pedoman) pada diri: mantra:
Ong Ong Tang nama swaha
Ong Ang Tang nama swaha
Ong Ung Tang nama swaha
Inilah Sang Hyang Barunastra yang kegunaannya sangat utama, banyak pahalanya, lafalnya:
SANG pada jantung BANG pada hati. TANG pada ungsilan. ANG pada nyali. ING pada patumpukannya hati. NANG pada paru-paru. MANG pada usus besar. SING pada limpa. WANG pada sekat rongga dada. YANG pada ujung jantung. ONG pada pangkalnya jantung. Mrestyu masyudi swasesa namah. 
http://cakepane.blogspot.com/2012/10/lontar-kala-tatwa-terjemahan.html
 

Like Facebook

Followers

Visitor

free counters